Ada sesosok hantu pria di jalanan
desa. Tiap senja tiba, ia selalu melayang-layang di sebelah pohon mahoni yang musim
ini daunnya tengah berwarna merah kecokelatan. Sesekali ia duduk di dahan yang
rapuh dan menjuntaikan kaki dengan lemah. Ia terus memandangi jalan berkerikil
di bawah, menunggu seseorang melewatinya ketika hari telah gelap dan jalanan
berubah temaram.
Ia tidak tahu berapa lama menunggu.
Tidak ada detik, tidak ada menit. Satu-satunya yang ia tahu hanyalah terang dan
gelap. Dan sebentar lagi, perempuan itu muncul. Benar saja, ketika langit mulai
bergemuruh dan lelehan hujan menyentuh daun-daun mahoni, perempuan berparas ayu
itu berjalan dengan memanggul payung di
satu sisi pundaknya. Di tengah udara dingin yang kian menusuk, ia tidak
berupaya melarikan diri. Berjalan pelan, menikmati setiap langkah.
“Hujan pertama,” bisik perempuan
itu lemah.
“Larilah, nanti kau sakit,”
balasnya.
Melihatnya seperti itu, hantu pria
menjadi sedih. Dalam sekali lompatan, ia telah berada di sebelah si perempuan dan
berusaha mengimbangi langkahnya yang gontai. Tapi, sekuat apapun sang hantu
berteriak, perempuan itu tetap bergeming. Tetap diam dalam rasa sakit yang sama
dengan yang ia rasakan.
Tiba-tiba perempuan itu menoleh, dan mereka saling menatap,
meski sesungguhnya yang perempuan itu lihat hanya hamparan kosong tanpa warna. Sang
perempuan mendengus sedih, ia lalu mempercepat langkah meninggalkan hantu pria.
Ia menunduk lesu, dan melayang kembali. Kali ini tidak mendarat di pohon
mahoni, tapi terus terbang hingga menembus langit. Sudah 40 hari, dan ia harus
cepat pergi.
“Aku menunggu dengan sabar di atas sini, istriku.”
-x-
Ceritanya ngaco? Atau kacau? Well, saya sedang mempraktikkan
tips menulis cepat ala Pak Isa Alamsyah. Meski tidak secepat itu, tapi
cerita di atas tetap memecahkan rekor menulis tercepat saya. Dan pengalaman
pertama menulis cepat itu… susah. Permasalahannya ternyata bukan karena beberapa
tuts keyboard saya rusak, tapi semakin ditekan, ternyata otak saya semakin
lemot. Padahal saya pikir, selama ini baru bisa melakukan sesuatu ketika mepet
deadline saja lho, tapi ternyata ketika otak dipaksa begini, hasilnya amburadul
juga. Dan satu hal yang saya benci, ketika saya menulis asal-asalan, yah,
seperti ini contohnya, mood saya jadi kacau. Apa ini excuse semata? Atau memang
seperti ini saya yang sesungguhnya? Padahal
kalau terlalu bebas, jatuhnya malah jadi malas. Terlalu bebas juga membuat saya
tidak nyaman.
Tetap dikontrol, tetap dikasih rambu-rambu yang jelas,
tapi tidak terlalu ditekan. Sepertinya itulah metode paling tepat buat saya.
Oke, jadi begini perintah Pak Isa, “ambil salah satu buku lalu
ceritakan tentang buku itu.” Saya mengubahnya sedikit dengan, “Dengarkan sebuah
lagu, dan tulis cerita berdasarkan interpretasiku sendiri.” Dan… terpilihlah
sebuah lagu dari Payung Teduh yang berjudul Resah. Lagunya adem, teduh banget,
dan liriknya ‘dalem’. So touching dan so inspiring pokoknya.
Resah
Song: Is
Lyric: Ketjak
Aku ingin berjalan bersamamu
Dalam hujan dan malam gelap
Tapi aku tak bisa melihat matamu
Aku ingin berdua denganmu
Diantara daun gugur
Aku ingin berdua denganmu
Tapi aku hanya melihat keresahanmu
Aku menunggu dengan sabar
Diatas sini melayang-layang
Tergoyang
angin , menantikan tubuh itu
Credit to:
http://payungteduh.blogspot.com/p/lyrics.html