“Aku kapan?”
Hiks!
“Enaknya kapan?” *pletak!
Berjodoh dengan kereta yang…
Jadi, Kamis, 19 Mei 2016 kemarin saya izin nggak masuk karena saudara yang di Tangerang menikah. Aduh, padahal kan saya lebih senior (lebih tua maksudnya) eh didahului lagi, deh.
Pagi jam tujuh saya sudah berangkat menuju stasiun. Kali ini berangkat dari Stasiun Depok Baru, bukan dari Pondok Cina—bukan, bukan karena takut sama mesin kartu otomatis. Tapi karena ada barengan anak kos jalan kaki sampai stasiun.
Di tempat ini pertama kalinya saya makan yang namanya tahu gejrot *eh, siapa peduli? |
Dan, ternyata!!! Penumpang kereta pagi di hari kerja itu… edunnn, penuh kali mamak!!! Saya sampai melewatkan tiga atau empat kereta, dan baru naik setelah ngendon sejam di stasiun, sudah sempat ngobrol sedikit dengan ibu-ibu, sempat celingak-celinguk ngelihatin Mbak-Mbak SPG, nenek-nenek yang berebut masuk, sampai mas-mas kenek kereta yang gagah-gagah. Eh, apa sih namanya? Bukan kenek, kan ya?! Petugas KRL berseragam lah pokoknya.
Bujangan di |
Lelah menanti
Hati-hati di dalam gerbong, ya, Mbak-Mbak... Jangan sambil mainan Hp. Kalau kenapa-kenapa sama Mbaknya, bakal ada yang cedih. |
Jadi teringat ucapan salah seorang penumpang tempo hari, “Pertarungan di gerbong wanita itu, luar biasa kejam!”
Yes! Pada akhirnya saya mengalami itu yang dinamakan kena sikut, kedorong-dorong, kegencet, nggak bisa pegangan—sekaligus nggak bisa jatuh. Gimana mau jatuh? Orang udah dipager betis sama emak-emak dan embak-embak. Noleh dikit ketemu muka sama muka, jadi kepengen malu.
Selain warga di atas, di dalem kereta ada eyang bawel (ini kata dia sendiri) yang minta perhatian, ada juga mas-mas penjaga yang meladeni omongannya si eyang putri. Kalau beliau bukan nenek-nenek, barangkali endingnya bakal sama kayak di FTV, laki perempuan yang setiap kali bertemu selalu perang mulut, namun tumbuhlah benih-benih cinta *eceh*. Kurang lebih pertengkaran kecil semacam itu, lah.
Ada juga ibu hamil yang pergi seorang diri. Saya yang masa kecilnya terobsesi jadi pahlawan wanita macam anggota Powerpuff Girls. Dan sempat bertahun-tahun memendam cita-cita sebagai seorang polwan, namun apa daya tubuh saya bantet (jangankan masuk polwan, daftar kerja yang ada batas tinggi minimal saja saya nggak pernah lolos kualifikasi, selalu dicutat pertama kali oleh persyaratan) sok-sok megangin tangan si ibu muda biar kagak jatuh, juga ikutan teriak, "Ada yang hamil, jangan dorong, ada yang hamiiil".
note: udah kelihatan keren belum? *kibas jilbab.
Badai pasti berlalu, kereta yang sempat berhenti cukup lama di beberapa titik pun akhirnya sampai di tujuan akhir. Tapi, hei, perjalanan saya belum berakhir. Saya masih akan berjodoh dengan kereta baru. Dan meski sepanjang jalan tadi merasa tidak nyaman, toh pada akhirnya saya sempat duduk juga kok, sekalipun hanya sepanjang dua stasiun terakhir. Bersamanya saya tidak terlalu bahagia, bukan berarti saya tidak mendapat apa-apa. Banyak hal yang bisa direnungkan dan diamati sepanjang menumpang kereta tadi.
Lagian, hidup nggak selalu diisi dengan kebahagiaan saja, kan? Tapi juga kudu bernilai *tsaahh.
Jadi, tak usah disesali.
Mengutip kalimat seseorang, “Aku tidak pernah menyesali ada abu-abu di hidupku.”
note: untuk kasus tertentu loh ya. kalau dosa ya memang harus disesali.
Dan memang, kereta dari Stasiun Duri ke Tangerang, legaaa sekali. Lihat jodoh keretaku kali ini...
Lihat!
waini... |
Tapi apa daya, meski bersamanya saya merasa sangat nyaman, bisa selonjoran kalau mau, dan sempat tidur sebentar, tapi waktu kami terlalu singkat. Well, rute Duri ke Tangerang, kalau tidak salah sekitar setengah jam saja.
Stasiun Tangerang
Akhirnya sampai juga di Stasiun Tangerang. Dan rasa-rasanya saya tertular seseorang yang tidak saya kenal secara personal, seseorang yang menyukai semua hal tentang kereta. Dari stasiun, masinis, gerbong, sampai rel-relnya.
Saya jadi bertanya-tanya, adakah kisah cinta yang menyayat hati yang dimulai di tempat ini? *mulai deh, mulai.*
Wahai, para Bangku yang berjejer, ceritakan padaku, sudah
berapa juta kali kau bersaksi atas kisah cinta orang lain? *senggrukkk*
|
Oh ya, dulu pertama kali berada di stasiun ini, saya takjub sekali. Kenapa? Karena di stasiun Tangerang, saya melihat sebuah akhir. Bukan, bukan akhir kisah cinta saya, tapi akhir rel kereta.
Sepanjang apa pun, ujung-ujungnya akan ada sebuah akhir, bukan? Mau atau tidak. (Termasuk kisah kita yang tak berawal *eh eh ini bohong xD)
Bukankah ini mengingatkan kita akan sesuatu? Seperti hidup. Hidup yang akan berakhir, entah cepat, atau lambat.
*kemudian hening...
Bagaimanapun awalnya? Semoga berakhir indah. |
Dah. Mentok. |
Inilah penampakan Stasiun Tangerang dari luar. Cek, cek!
Akhirnya berhasil keluar... *fiuhh |
Pada dasarnya saya takut nyebrang. Tapi tetap saja, dari Magelang, Semarang, Jogja, sampai Tangerang, tak ada yang mengalahkan ketakutan saya nyebrang di Jalan Margonda Depok. Nah, di depan stasiun saya harus nyebrang, tapi tenang, jalan nggak terlalu ramai. Kalaupun mau mampir ke Robinson, ada jembatan penyeberangan, jadi tidak perlu takut.
Nah, mungkin karena saking bahagianya di sini bisa nyebrang tanpa harus merasa deg-degan dan keringat dingin, malahan saya jadi kurang waspada. Apalagi setelah sebelumnya serombongan (maaf) banci lewat. Saya mandangin mereka lamaaa sekali. Bahkan sampai Mas-mas ber-make up menghilang dari pandangan, saya masih memperhatikan jejaknya sambil melamun.
Dan... Nyaris saja saya ketabrak!!!
Sampai diteriakin, “Neng, Nenggg!!!”
note: pakai tanda pentung biar lebih dramatis.
Tapi syukur alhamdulillah, bukan ketabrak motor apalagi mobil. Saya hanya nyaris diseruduk becak.
Kejadiannya di depan Masjid ini. Ini masjid di dekat stasiun.
Tenang, pelakunya bukan kakek ini kok. (Allah, sehatkan dan bahagiakan kakek ini di dunia dan akhirat nanti, aamiin.) |
Perjalanan setelahnya tidak ada yang menarik, sih. Naik angkot sekali, dilanjut dengan naik ojek. Dan sampailah saya di perumahan saudara. Perjalanan Depok-Tangerang terlama yang pernah saya tempuh. Sampai empat jam, mamen! Busyet dah. (Nunggu keretanya hampir sejam.)
Menikah
Acara pernikahan diadakan dengan sederhana. Bahkan sodara-sodara di Jawa tidak banyak yang diundang. Hanya sodara dekat saja. Alhamdulillah sudah sah. Jadi bisa bertemu beberapa saudara dari kampung, lumayan mengobati kangen saya dengan kampung halaman *hiks. Habisnya, cita rasanya Magelang banget.
Si kembar asal Banjarnegara, baru kenal sudah nempel aja xD |
Tentu saja selama di sana saya bertanya-tanya, kapan ya bisa ngadain resepsi? Hihihi. Kapan ya duduk di pelaminan berdua? Ahahaha. Jangan-jangan jodohnya teh masih nyasar di stasiun yang salah? Atau sudah di dalam kereta tapi jalannya selambat kereta Depok-Duri yang membawa saya pagi ini? Who knows?!
Ya sudah, biar segera ketularan, pose dulu sama penganten, meski nggak jadi di pelaminan.
Nyempil di tengah, biar pengaruhnya makin kuat. Wkwk xD |
PS: Roadshow bareng artis di JIS dan Nobar Aisyah, Biarkan Kami Bersaudara semoga bisa segera diposting.