Cute Plant Dancing Kaoani Di Bawah Gerimis

Minggu, 22 Mei 2016

Depok – Tangerang, Sampai Pelaminan!

Diposting oleh Wulan Mardianas di 21.06 1 komentar
Dan semua bermula dari… rintihan hati seorang jomblo.

“Aku kapan?”

Hiks!

“Enaknya kapan?” *pletak!


Berjodoh dengan kereta yang…

Jadi, Kamis, 19 Mei 2016 kemarin saya izin nggak masuk karena saudara yang di Tangerang menikah. Aduh, padahal kan saya lebih senior (lebih tua maksudnya) eh didahului lagi, deh.

Pagi jam tujuh saya sudah berangkat menuju stasiun. Kali ini berangkat dari Stasiun Depok Baru, bukan dari Pondok Cina—bukan, bukan karena takut sama mesin kartu otomatis. Tapi karena ada barengan anak kos jalan kaki sampai stasiun.

Di tempat ini pertama kalinya saya makan yang namanya tahu gejrot *eh, siapa peduli?

Dan, ternyata!!! Penumpang kereta pagi di hari kerja itu… edunnn, penuh kali mamak!!! Saya sampai melewatkan tiga atau empat kereta, dan baru naik setelah ngendon sejam di stasiun, sudah sempat ngobrol sedikit dengan ibu-ibu, sempat celingak-celinguk ngelihatin Mbak-Mbak SPG, nenek-nenek yang berebut masuk, sampai mas-mas kenek kereta yang gagah-gagah. Eh, apa sih namanya? Bukan kenek, kan ya?! Petugas KRL berseragam lah pokoknya.

Bujangan di sarang gerbong wanita (nggak percaya kalo dia bujangan? Tanya aja sendiri.)


Lelah menanti jodoh, saya pun memaksakan diri untuk naik kereta meski masih penuh sesak. Lha masa iya saya harus nunggu kamu kereta lagi tanpa kepastian? Hayati capek… Daripada keburu tua siang, naiklah saya penuh semangat. Sesesak dan menyakitkan apa pun, itulah kereta saya. Yang rela mengantar hingga tempat tujuan. Saya berjodoh dengan kereta itu. Saya menerimanya apa adanya *uhuk*.

Hati-hati di dalam gerbong, ya, Mbak-Mbak... Jangan sambil mainan Hp.
Kalau kenapa-kenapa sama Mbaknya, bakal ada yang cedih.


Jadi teringat ucapan salah seorang penumpang tempo hari, “Pertarungan di gerbong wanita itu, luar biasa kejam!”

Yes! Pada akhirnya saya mengalami itu yang dinamakan kena sikut, kedorong-dorong, kegencet, nggak bisa pegangan—sekaligus nggak bisa jatuh. Gimana mau jatuh? Orang udah dipager betis sama emak-emak dan embak-embak. Noleh dikit ketemu muka sama muka, jadi kepengen malu.

Selain warga di atas, di dalem kereta ada eyang bawel (ini kata dia sendiri) yang minta perhatian, ada juga mas-mas penjaga yang meladeni omongannya si eyang putri. Kalau beliau bukan nenek-nenek, barangkali endingnya bakal sama kayak di FTV, laki perempuan yang setiap kali bertemu selalu perang mulut, namun tumbuhlah benih-benih cinta *eceh*. Kurang lebih pertengkaran kecil semacam itu, lah.

Ada juga ibu hamil yang pergi seorang diri. Saya yang masa kecilnya terobsesi jadi pahlawan wanita macam anggota Powerpuff Girls. Dan sempat bertahun-tahun memendam cita-cita sebagai seorang polwan, namun apa daya tubuh saya bantet (jangankan masuk polwan, daftar kerja yang ada batas tinggi minimal saja saya nggak pernah lolos kualifikasi, selalu dicutat pertama kali oleh persyaratan) sok-sok megangin tangan si ibu muda biar kagak jatuh, juga ikutan teriak, "Ada yang hamil, jangan dorong, ada yang hamiiil".

note: udah kelihatan keren belum? *kibas jilbab.

Badai pasti berlalu, kereta yang sempat berhenti cukup lama di beberapa titik pun akhirnya sampai di tujuan akhir. Tapi, hei, perjalanan saya belum berakhir. Saya masih akan berjodoh dengan kereta baru. Dan meski sepanjang jalan tadi merasa tidak nyaman, toh pada akhirnya saya sempat duduk juga kok, sekalipun hanya sepanjang dua stasiun terakhir. Bersamanya saya tidak terlalu bahagia, bukan berarti saya tidak mendapat apa-apa. Banyak hal yang bisa direnungkan dan diamati sepanjang menumpang kereta tadi.

Lagian, hidup nggak selalu diisi dengan kebahagiaan saja, kan? Tapi juga kudu bernilai *tsaahh.

Jadi, tak usah disesali.

Mengutip kalimat seseorang, “Aku tidak pernah menyesali ada abu-abu di hidupku.”

note: untuk kasus tertentu loh ya. kalau dosa ya memang harus disesali.

Dan memang, kereta dari Stasiun Duri ke Tangerang, legaaa sekali. Lihat jodoh keretaku kali ini...

Lihat!

waini...


Tapi apa daya, meski bersamanya saya merasa sangat nyaman, bisa selonjoran kalau mau, dan sempat tidur sebentar, tapi waktu kami terlalu singkat. Well, rute Duri ke Tangerang, kalau tidak salah sekitar setengah jam saja.


Stasiun Tangerang

Akhirnya sampai juga di Stasiun Tangerang. Dan rasa-rasanya saya tertular seseorang yang tidak saya kenal secara personal, seseorang yang menyukai semua hal tentang kereta. Dari stasiun, masinis, gerbong, sampai rel-relnya.

Saya jadi bertanya-tanya, adakah kisah cinta yang menyayat hati yang dimulai di tempat ini? *mulai deh, mulai.*

Wahai, para Bangku yang berjejer, ceritakan padaku, sudah berapa juta kali kau bersaksi atas kisah cinta orang lain? *senggrukkk*

Oh ya, dulu pertama kali berada di stasiun ini, saya takjub sekali. Kenapa? Karena di stasiun Tangerang, saya melihat sebuah akhir. Bukan, bukan akhir kisah cinta saya, tapi akhir rel kereta.

Sepanjang apa pun, ujung-ujungnya akan ada sebuah akhir, bukan? Mau atau tidak. (Termasuk kisah kita yang tak berawal *eh eh ini bohong xD)

Bukankah ini mengingatkan kita akan sesuatu? Seperti hidup. Hidup yang akan berakhir, entah cepat, atau lambat.

*kemudian hening...

Bagaimanapun awalnya? Semoga berakhir indah.

Dah. Mentok.

Inilah penampakan Stasiun Tangerang dari luar. Cek, cek!

Akhirnya berhasil keluar... *fiuhh


Pada dasarnya saya takut nyebrang. Tapi tetap saja, dari Magelang, Semarang, Jogja, sampai Tangerang, tak ada yang mengalahkan ketakutan saya nyebrang di Jalan Margonda Depok. Nah, di depan stasiun saya harus nyebrang, tapi tenang, jalan nggak terlalu ramai. Kalaupun mau mampir ke Robinson, ada jembatan penyeberangan, jadi tidak perlu takut.

Nah, mungkin karena saking bahagianya di sini bisa nyebrang tanpa harus merasa deg-degan dan keringat dingin, malahan saya jadi kurang waspada. Apalagi setelah sebelumnya serombongan (maaf) banci lewat. Saya mandangin mereka lamaaa sekali. Bahkan sampai Mas-mas ber-make up  menghilang dari pandangan, saya masih memperhatikan jejaknya sambil melamun.

Dan... Nyaris saja saya ketabrak!!!

Sampai diteriakin, “Neng, Nenggg!!!”

note: pakai tanda pentung biar lebih dramatis.

Tapi syukur alhamdulillah, bukan ketabrak motor apalagi mobil. Saya hanya nyaris diseruduk becak.


Kejadiannya di depan Masjid ini. Ini masjid di dekat stasiun.

Tenang, pelakunya bukan kakek ini kok. 
(Allah, sehatkan dan bahagiakan kakek ini di dunia dan akhirat nanti, aamiin.)


Perjalanan setelahnya tidak ada yang menarik, sih. Naik angkot sekali, dilanjut dengan naik ojek. Dan sampailah saya di perumahan saudara. Perjalanan Depok-Tangerang terlama yang pernah saya tempuh. Sampai empat jam, mamen! Busyet dah. (Nunggu keretanya hampir sejam.)


Menikah

Acara pernikahan diadakan dengan sederhana. Bahkan sodara-sodara di Jawa tidak banyak yang diundang. Hanya sodara dekat saja. Alhamdulillah sudah sah. Jadi bisa bertemu beberapa saudara dari kampung, lumayan mengobati kangen saya dengan kampung halaman *hiks. Habisnya, cita rasanya Magelang banget.

Si kembar asal Banjarnegara, baru kenal sudah nempel aja xD


Tentu saja selama di sana saya bertanya-tanya, kapan ya bisa ngadain resepsi? Hihihi. Kapan ya duduk di pelaminan berdua? Ahahaha. Jangan-jangan jodohnya teh masih nyasar di stasiun yang salah? Atau sudah di dalam kereta tapi jalannya selambat kereta Depok-Duri yang membawa saya pagi ini? Who knows?!

Ya sudah, biar segera ketularan, pose dulu sama penganten, meski nggak jadi di pelaminan.

Nyempil di tengah, biar pengaruhnya makin kuat. Wkwk xD



PS: Roadshow bareng artis di JIS dan Nobar Aisyah, Biarkan Kami Bersaudara semoga bisa segera diposting.

Rabu, 18 Mei 2016

Depok - Jakarta: Sekali-kalinya Menghadiri Kajian di Masjid Istiqlal

Diposting oleh Wulan Mardianas di 05.37 2 komentar
Jumat malem...

Jadi, Sabtu kemarin untuk pertama kalinya saya ikut pengajian di Masjid Istiqlal. Lantarannya diajak Jeng Newisha Alifa di Facebook.

Saya pengin, tapi langsung panik. Apalagi pas blio ngirim pesan via WA. Haduhh, mau jawab apa ini!

Dan yang membuat panik adalah sesuatu yang sangat tidak penting. Alasan yang sangat-sangat dangkal.

Baju. Yep. Baju.

Astagah.

"Jeng!!!! Aku malu nggak punya baju akhwat!!!" Ditambah emot nangis-nangis.

Maksud saya, gamis dan khimar lebarnya.

Saya selalu salut melihat akhwat dan busananya. Indah. Saya mah apa atuh, cuma bisa mengagumi. Maklum, wanita biasa, bukan (atau belom) jadi akhwat. Padahal mah, akhwat artinya wanita, bukan? Wanita dalam bentuk jamak *CMIIW*

Tapi sungguh, meski artinya sama-sama wanita, panggilan itu terasa jauh di luar jangkauan. Pasalnya yang namanya akhwat tetap saja identik dengan perempuan dengan pemahaman agama yang tinggi.

Untungnya jawaban si Jeng Newisha sangat melegakan.

"Rok ada kan? Yang pakai celana aja banyak. Santai aja, Jeng."

Syukurlah.

"Sudah pakai rok, sih. Tapi atasan masih kaos."

Soalnya di pertemuan pertama dengan Jeng Newi dulu saat kopdar di Kota Kasablanka, saya masih pakai celana jins. Hehehe.

"Kagak papaaa... Nyantai ajaaaa..."

Ya sudah, bulatlah tekad buat dateng ke acara itu. Kami janji bertemu di luar masjid, soalnya kalau di dalem mah pasti susah nyarinya.

Sabtu pagi...

Jam setengah tujuh saya sudah keluar dari kos. Make masker, nenteng sampah--sekalian dibuang gitu. Pas sampai luar gerbang, eh hape ketinggalan. Ini kan kronis banget.

Geli sendiri pas sampai Stasiun Pondok Cinta Cina, tahu-tahu sudah ada mesin tiket otomatis (atau apalah namanya itu). Saya yang jarang naik kereta, merasa gagap melihat benda serupa mesin ATM begitu (terakhir kali naik kereta masih dilayani secara manual, sih).

Untung ada bapak-bapak yang bisa ditanyain, juga mbak-mbak di belakang saya yang ikut menjelaskan.

Untungnya juga saya pakai masker. Kalau enggak kan ya kelihatan banget ndesonya.

Embun di jendela kereta


Sampai Stasiun Juanda, rupanya Jeng Newisha juga baru saja sampai. Syukurlah tak ada yang perlu menunggu terlalu lama.

Sunyi yah? Sesunyi hatikuuuh *pletak*

Dan si Jeng Newisha sudah menunggu di depan tulisan Masjid Istiqlal. Berjilbab oranye, dengan seorang akhwat berpostur tinggi yang ternyata adalah adiknya.

"Adek sekarang gini, gede-gede," kata si Jeng Newi, kurang lebih.

"Kakak mah udah biasa prihatin sih, ya,"

Hehehe.


Oh, ya, pemandangan yang lucu, baru juga para akhwat itu sampai, langsung pada putu-putu--pose cantik, mesam-mesem ke kamera, belo-beloin mata... cekrek! Saya juga nyaris tergoda, sih. Tapi, ah, nggak ah. Belom pengin foto.

salah satu spot putu-putu para akhwat
(foto by Jeng Newisha)

Setelah masuk masjid, nitipin sepatu--sebelumnya dimasukin ke plastik keresek dulu--kemudian berbondong-bondong menuju tempat wudhu. Karena saya sama sekali belum kebayang situasi di dalam nanti seperti apa, saya paksain buat pips, takutnya di tengah acara malah kebelet pips kan repot. Dan ngantre toiletnya lama sekali... Ternyata pas sudah di dalam pun tetep bisa keluar, hehe. Konsekuensinya ya, ketinggalan materi. Dua kali ke toilet, dua kali dapet bilik nomer 8. Nggak ada hubungannya, sih... Cuma pengin ditulis aja xD


Bodohnya, saya nggak bawa mukena! Dan kostum saya jelas tidak memungkinkan untuk sholat tanpa mukena. Namanya juga kaus! Di pikiran saya, bakal dengan mudahnya minjem mukena yang disediakan masjid. Taunya... pakai antre dan nyerahin KTP *glodak!

Jadi, kajian bersama Ustadz Yusuf Mansyur dan KH. Bachtiar Nasir hari itu bertema Masuk Surga Sekeluarga. Jelas nggak jauh-jauh dari pernikahan dan kejombloan. Langsung baper dah, bawaannya pengin dinafkahin biar bisa ke surga sekeluarga*kyaaaaa*

Nah mumpung ngumpul bareng para akhwat nih, saya kepengin juga ngerasain gimana sih syahdunya seorang akhwat. Jadi sebisa mungkin menahan diri agar nggak lirik-lirik ikhwan. Malahan kalau nggak sengaja papasan, saya pura-puranya nunduk malu-malu. Sewaktu mau melotot, bawaannya pengin istighfar aja *pletak. 

Beginilah tingkah ane yang norak-norak sembrono, Bang. Kalau kamu nyarinya seorang akhwat, saya mundur. Tapi kalau kamu nyarinya seseorang yang bisa sama-sama berubah ke arah yang lebih baik, saya tetep mundur *eh salah* hayuuu maju sama-sama ke pelaminan :p wkwkw

*Monolog di atas tidak ditujukan untuk siapa-siapa. Catet.

Di tengah acara, para jomblowan dan jomblowati diminta berdiri, semacam disuruh berikrar gitu. Doa yang luar biasa mulia. Jujur saya minder dengan doa semacam itu, jadi di dalam hati saya berdoa agar dijodohkan dengan yang terbaik saja.

Selepas berdoa, hati diliputi rasa haru. Namun, keharuan saya tidak disebabkan oleh doa yang agung barusan. Bukan juga soal jodoh yang masih belom kelihatan hilalnya. Saya diliputi keharuan lantaran Jeng Newi menangis.

Allah...

Nampaknya sahabat saya ini sungguh begitu ingin segera disatukan dengan jodohnya. Bisa jadi juga karena baru saja patah hati. Atau akumulasi dari keduanya. Yang saya tahu, hati yang lembutlah yang mudah tersentuh.

Yang jelas, air mata yang menitik barusan, menggerakkan hati saya untuk menyelipkan nama Jeng Newi ke dalam doa saya--maaf kalau enggak setiap hari juga ngedoainnya, Jeng. Pokoknya mah kalau pas teman-teman saya sebut, bakal ada satu nama lagi. Jeng Newisha Alifa.

Sabtu Siang...

Oh ya, selain mendengar kajian, salah satu sesi terasyik adalah curhat-curhatan dan berburu ransel AsmaNadia. Secara saya ini kan meski tengah bebas tugas, bangga dan bahagia sekali menyandang predikat sebagai karyawan ANPH xD (meski kenyataannya, Bunda dan Pak Isa lebih sering menganggap kami ANPH team! Atau ANPH crew. Satu tim yang kompak dan solid--ketimbang menganggap kami 'sekadar' karyawan *hugs*)


Di dalam Masjid

Adegan:

"Wulan, itu ada ransel AsmaNadia," kata Jeng Newi.

"Ah, iya, fotoin, Jeng, fotoin..."

Large Hitam-Pink Fanta
Tolong diabaikan gambar kakinya
(foto by Jeng Newisha)

Di stasiun Juanda juga nemu.

Adegan: Pura-pura ngambil foto gedung ah... pas Mbaknya meleng, cekrek-cekrek!
Entah merasa dikuntit oleh orang aneh, atau karena kami sama-sama pakai ransel AsmaNadia, si Mbaknya kemudian pergi.

Nggak pa-pa, Mbak, saya sudah biasa kok kalo cuma ditinggal-tinggal pergi gitu *jomblo baper mode on*

Slim abu-pink muda

Di Jembatan penyeberangan ada lagi, Nda!

(warna pink)
Spesial edition: 4S

Mari kita kejar Mbaknya, lebih dekat lagi
Mbak, ada akuuuh di belakangmu


Tentunya setelah selesai, dan sudah habis dzuhur, sempetin dulu foto-foto.

kamera yang bagusan kagak ada, Mbak? huhuhu

Gereja Katedral Jakarta tampak dari halaman Masjid Istiqlal



Karena kelaperan, kami makan dulu di Bakso Malang Oasis di dalam stasiun Juanda. Bertiga memesan menu berat (nasi goreng barbekyu) karena sama-sama laper berat.

Yang lucu, saat kami menunggu pesanan, di sebelah duduk tiga orang ibu-ibu (atau nenek-nenek). Masih pantas dipanggil ibu, namun kelihatannya sudah pada punya cucu. Ibu-ibu bercucu ini pada kasak-kusuk sembari mengaduk-aduk mi ayam bakso di mangkuk masing-masing.

Tiba-tiba salah satunya nyeletuk--dengan agak berbisik--sama Mas pelayannya, "Mas, yang digambar baksonya ada tiga."

Hiyaaaa. Masnya hanya menanggapi dengan agak salah tingkah, "Wah, nggak tahu kalo itu, Bu..."

Karena kepo, saya intip mangkuk mereka, baksonya ternyata cuma ada dua. Ahahaha.

Hari yang lucu, menyenangkan, haru, bahagia. Ahhh, berharap kapan-kapan bisa menghadirinya lagi bersama suami Jeng Newisha dan adiknya lagi, mungkin?

Namanya juga jomblo!





Sabtu, 07 Mei 2016

Pada Hari Jumat Kuturut Ke Kota Tua

Diposting oleh Wulan Mardianas di 04.58 0 komentar
Jujur, ya, saya lebih bisa menuliskan apa yang saya rasa ketimbang apa yang saya jalani. Menuliskan kegiatan, cerita perjalanan, entah bagaimana cukup tidak mudah untuk saya pribadi.


(Kadang pakai saya, kadang pakai aku. Maafkanlah.)


Kemarin saya ke Kota Tua Jakarta. Awalnya sama sekali nggak ada rencana. Semua serba dadakan dan cepat-cepat.

Saya pergi bersama tiga teman kos dan kawan-kawan dari salah satu teman kos itu. Nah, di sini uniknya. Dua teman saya, E dan S mahasiswi asal Sumba, beragama Katholik. Sedangkan M, mahasiswi, asal Sumba juga. Agama? Kristen juga. Namun tidak sealiran dengan E dan S.

Dan kami pergi ke Kota Tua bersama teman-teman sealiran M. Kurang lebih bersembilan.

Sembilan gadis. Dua agama, tiga kepercayaan yang berbeda.

Kami saling menghormati kepercayaan masing-masing. Bagimu, agamamu dan bagiku, agamaku. Namun, yang lucu, justru saya yang diajak berdiskusi dengan salah satu teman M. Targetnya? Membuka pemahaman E dan S yang dianggapp keliru menurut mereka, melalui diskusi ringan di dalam kereta bersama saya.

Yup, saya sadar, bukan saya objek dakwah mereka. Namun, dua teman saya itu.

"Jadi, apa bedanya aliran kalian dengan kristen yang lain?"

"Kami tidak merayakan natal. Tidak merayakan ulang tahun. Karen natal budaya Romawi, tidak ada dalam Al kitab."

Salah satu contoh dialog kami.

"Hm, berarti kalau di agamaku, kalian itu suka berdakwah ke mana-mana, ya?"

"Mungkin," jawabnya tersenyum. "Eh, ngomong-ngomong, dakwah itu apa ya?"

Hihihihi.

Di dalem kereta. Penuhnya... fiuhh



Jakarta siang itu panasnya ampun-ampunan. Jangan ditanya seperti apa wajah saya. Makin merah. Ya sudah, kami jalan saja. Foto-foto. Jalan. Foto-foto lagi. Sampai museum Bank Indonesia, ternyata tutup. Libur, sih, ya.


Yang nyari souvenir dan jajanan khas Jakarta... di sini nih

Djakarte

Abaikan modelnya. Niat hati mau ngambil gambar mobilnya, eh die nyelonong aje xD

Lelah muter-muter. Panas. Dan sebagainya, dan sebagainya, kami makan siang dulu.

mamams dulu



Keluarga kecil bahagia


Rombongan kami



Nah, ini bagian menyebalkannya. Ndilalah hari itu saya sedang 'dapet' hari pertama, dan keluarnya banyaaak banget. Ditambah panas-panasan berjam-jam, juga paginya nggak sempat sarapan. Saya nyaris pingsan. Lemes banget. Dengan sigap teman-teman melakukan apa saja yang bisa dilakukan untuk meringankan beban penderitaan saya *eceh*. Dari ngambilin air minum, roti dan minyak angin di dalem tas. Jadi sandaran *dasar jomblo* sampai jadi bantal--iya saya sampai tiduran di lantai stasius lho. Dari bawain ransel, sampai dengan sengaja berebut kursi di kereta cuma untuk dikasihin ke saya. Huuuaaa terharu.

Setelah hampir sampai stasiun Depok Baru, kami berpamitan. Tentunya banyak berterima kasih karena mereka sangat pengertian. Dan berkali-kali minta maaf.

"Maaf, yaa, aku merepotkan."

Dasar!







Senin, 02 Mei 2016

Tentang Rencana Menikah di Tahun Ini?

Diposting oleh Wulan Mardianas di 23.34 0 komentar
Entah kenapa bahasanku--dengan diriku sendiri--akhir-akhir ini selalu terkait nikah, nikah dan nikah?

Hei?

Ada apa ini?

Semakin galau setelah menginjak usia 25. Dulu, status-status perkara jodoh dan menikah hanyalah sebatas guyonan, lucu-lucuan, sok-sok kesepian untuk mengundang komentar dan simpati padahal hidup sedang sangat asyik bersama teman-teman. Singkatnya, saat itu memang aku tahu belum ingin menikah. Setidaknya sampai usia 24 atau 25.

Ya, karena target awal menikah memang di usia itu. Meski sempat aku revisi gara-gara ada yang mengatakan, "Dulu saya menikah usia 24. Ternyata masih terlalu muda."

Juga pesan dari seorang ibu, cukup tua namun masih sangat sehat, "Bekerja saja dulu. Senang-senang mumpung masih muda. Bahagiakan diri sendiri."

Apa sang ibu pensiunan PNS itu terlihat putus asa dengan pernikahannya? Tidak. Terlepas dari, hanya permukaan yang bisa kulihat, ya.

Sepanjang hari itu, ia bercerita banyak hal soal keluarganya. Juga anak-anak dan sanak famili. Ia terlihat sangat  menikmati hidup. Terlihat sehat dan bahagia. Tidak segan-segan mempraktekkan gerakan senam yang kutanyakan.

Dan pesan dari orang seperti beliau meyakinkanku bahwa aku tak perlu buru-buru menikah. Bahkan menggeser target ke usia 26.

Lain lagi dengan Mbahe, seorang nenek dengan kemampuan finansial yang terbilang mapan, yang hanya tinggal berdua bersama suami karena anak-anaknya berada di luar kota. Mbahe memang sudah melewati perjalanan hidup yang panjang dan barangkali pengalaman pernikahannya cukup getir--setidaknya itu desas-desus yang sering kudengar.

Usia pernikahan Mbahe dengan Mbah Kakung (yep, ini Mbah Kakung yang sama dengan yang aku tulis di kisah sebelumnya) terbilang langgeng. Meski entah sudah sesering apa keduanya saling menyakiti di masa kuatnya. Bahkan meski sampai sekarang hanya tinggal berdua, keduanya diam-diaman. Setiap kali masuk ke rumahnya yang besar, yang aku rasakan hanya dingin. Sepi. Bukan masa tua seperti itu yang kuharapkan. Tapi, yeah, Mbahe tidak suka keributan.

"Nggak usah nikah dulu, Mbak Wulan. Mbak Wulan masih muda. Bahagiakan keluarga dulu. Nikah itu enggak enak."

Waaaaa!

Awalnya memang enggak ingin buru-buru menikah. Menyadari kelayakan diri yang belum seberapa (baca: masih suka berantakan, males-malesan, belum pinter masak, masih labil, masih belum berilmu, masih belum seberapa membantu orang tua).

Namun, mendadak target menikah kembali ke usia semula. Dua empat, coret.

Okeh.

Dua lima!

Artinya, aku mengusahakannya tahun ini.

Jadi, gimana perasaanmu, kalau seorang gadis yang kemarin menikah itu, dulu sewaktu ia lahir, kau ikut menjenguknya.

Jadi, gimana perasaanmu, kalau teman seangkatan yang baru saja mengubah status menjadi menikah itu, beberapa tahun lalu pernah menikah. Bahkan anaknya sudah sekolah. Ia sudah menikah dua kali, sementara kau... ah sudahlah!

Jadi, gimana perasaanmu, kalau bertahun-tahun lalu, saat kau masih begitu kecil, kau bahagia sekali menyambut pernikahan salah satu tetanggamu. Kau duduk di dekat pelaminan, di hadapan para tamu tanpa rasa malu.

Dan seseorang yang menikah belum lama ini, kau tahu siapa?

Ya, anak pengantin itu.

Dan, yes! Aku mulai risau. Terlebih Bapak.

"Jadi, mana calonnya?"

Tidaaaakkkk!

Rabu, 27 April 2016

Tentang Sepenggal Kisah yang Sudah Selesai Sebelum Sempat Dimulai

Diposting oleh Wulan Mardianas di 04.35 0 komentar
Kalau dibilang masih ada rasa, sebenarnya enggak! Sudah biasa saja.

Ngomongin apa sih?

Hehe.

Berawal dari keisengan ngintip-ngintip profil Facebook-nya (enggak berteman), aku menemukan seorang kerabat memposting foto dia, duduk bersanding dengan seorang gadis. Yang istimewa adalah, mereka mengenakan baju pengantin.

"Dulu targetku menikah umur 25," teringat ucapannya saat kami duduk bersama--cukup dekat, namun masih terentang jarak, "Sampai sekarang sudah mau 30."

Ia melanjutkan, "Mas-masku memang nggak ada yang nikah muda, sih. Di atas 30 semua."

Sebenarnya saat itu situasi sudah tidak enak. Maksudku, kami sudah tidak bisa lagi bercanda seperti dulu. Bahkan sejak 2 bulan terakhir, aku merasa dia sengaja menjauh. Ada rasa canggung yang membuat tidak nyaman, sekaligus sikap sok tenang yang diusahakan untuk menjelaskan bahwa semua baik-baik saja. Bahwa kami masih bisa berbincang seperti dulu, lagi. Meski kami sama-sama tahu, di antara kami sudah tidak baik-baik saja.

Mengutip quotes Ika Natassa; sebab kecanggungan tidak pernah terjadi di antara dua orang yang tidak ada apa-apanya. So maybe, there is something between us.

"Cowok mah santai, Mas. Sampai usia 35 juga masih pantes-pantes aja. Beda kalau cewek. Di kampungku, yang masih kecil-kecil aja udah pada nikah."

Lalu ia bercerita soal adiknya yang juga menikah di usia 21-an, selepas keluar dari pesantren.

Melihat latar belakang keluarganya, yang religius, aku selalu merasa bukan siapa-siapa. Minder. Merasa tidak cukup baik untuk menjadi pendampingnya (setidaknya itu yang ada dalam bayangan, waktu itu).

Dia yang rutin dhuha.

Dia yang mengajari pria tua yang biasa kami panggil Mbah Kakung membaca Al Qur'an.

Dia yang sering menyenandungkan shalawat.

Dia yang setiap malam Jumat mengaji sampai dini hari--sering sampai jam 2 pagi.

Kemudian siangnya bakal bertanya, "Mataku merah, ya? Kelihatan ngantuk banget?"

Hari minggu kemarin, ia menikah.

Bersanding dengan seorang perempuan dengan riasan Paes Ageng. Memang tidak sesuai bayanganku. Kupikir ia akan menikah dengan gadis berjilbab lebar.

Tapi aku percaya. Allah telah mengkaruniakannya perempuan yang tepat untuk menjadi pendamping hidup. Dan sungguh, hatiku baik-baik saja, aku berdoa agar ia bisa menjadi pemimpin keluarga yang baik.

Yang sangat aku syukuri adalah, dia menikah setelah hati ini benar-benar sembuh. Aku nggak bisa membayangkan apa yang akan terjadi kalau dia menikah setahun lalu, tepat ketika aku sedang patah hati berat.

Akankah hancur dan lebur?

Tapi kalaupun memang terjadi, sehancur-hancurnya perasaanku, aku yakin, luka akan berangsur mengering, kemudian sembuh.

Aku tipe wanita, yang kalau mencintai seseorang selalu sungguh-sungguh. Namun, saat aku tahu bahwa sudah tak ada lagi yang bisa diharapkan untuk sebuah hubungan serius, aku bisa tutup buku. Bangkit. Melupakan dengan berjalannya waktu.

Dan akan mencintai dengan cara yang sama saat bertemu orang tepat yang lain.

Mencintainya dengan sungguh-sungguh.

Hmm, omong-omong soal pernikahan itu, yakin baik-baik aja?

Bagaimana ya?

Kayak ada pahit-pahitnya gitu sih.

Tapi bukan karena patah hati.

Melainkan, karena aku masih sendiri.

Hiks hiks huuaaa...

"Semoga jodohnya dekat," teringat ucapannya suatu hari.

Maksudnya barangkali, enggak lama-lama nunggu jodohnya.

Lah, kurang dekat apa coba, dulu? Nyaris setiap hari bertemu. Setiap hari menyamperiku. Ah, sudahlah.

Aku yakin, kok, pada akhirnya akan menikah dengan orang yang tepat. Yang terbaik menurut-Nya. Yang terdengar bunyi "klik". Itu artinya, kuncinya sudah pas.

Yang sengaja disimpan oleh Allah untuk menjadi imamku. Dan semoga, disegerakan.

Aamiin.

Sabtu, 26 Maret 2016

Tentang Memiliki Seseorang yang Bernama Suami

Diposting oleh Wulan Mardianas di 19.58 1 komentar
Sering tidak tahu harus curhat sama siapa. Takut orang yang mendengar, merasa terbebani. Merasa bosan. Jadi, benarlah bahwa sebaik-sebaiknya curhat adalah dengan Allah SWT.

Tapi, selain menengadahkan tangan, saya juga butuh mengetukkan jari-jari. Menulis seperti ini.

Menulis status di Facebook takkan banyak membantu. Berasa buka-buka aib (masalah) sendiri saja.

Kalaupun mendapat simpati, yah, bukan simpati semacam itu yang saya mau. Dinyinyirin sana-sini, mungkin lebih banyak didapat.

Biarlah.

Saya menulis di sini saja.

Pertama, nggak ada yang baca. Kalaupun ada yang baca, orangnya nggak kenal.

Kedua, bisa dibuka-buka lagi tahun depan. Saat hidup mulai berubah. Semoga saja berubah lebih baik.

Punya suami orang baik, misalnya.

-x-

Belakangan saya selalu pengin nangis setiap kali melihat foto-foto kegembiraan keluarga kecil, keluarga muda, terlebih ada bayi-bayi di tengah pasangan itu.

Trenyuh. Terharu. Perih dikit. Hehe.

Lalu bertanya dalam hati, "Apa aku sudah seserius ini mau berkeluarga?" Disusul dengan doa agar segera dipersatukan dengan Mas Jodoh.

Padahal saya belum pintar masak. Sekadar bisa, entah rasanya. Padahal saya masih suka malas-malasan. Padahal saya masih suka sembrono. Masih emosional. Belum punya ilmu yang mumpuni untuk berumah tangga.

Tapi... sekarang rasanya memang berbeda.

Ingin ada seseorang yang bisa diusap-usap keningnya sembari diajak berbincang santai sebelum tidur. Butuh seseorang yang bisa dipeluk dan memeluk saya saat dada terasa sesak. Butuh orang yang bisa membuat tertawa saat hati menangis. Butuh ada orang yang membutuhkan keberadaan saya untuk dimanjakan.

Hihihi.

Butuh seseorang, untuk saling mengingatkan dalam hal beribadah kepada-NYA.

Bersama-sama menjadi orang yang lebih baik. Di hadapan manusia lain, juga Allah SWT.

Butuh seseorang untuk dibilangin, "Selamat kerja... jangan pulang malem-malem yah... Kami menunggu." Sambil ngusap-usap perut.


Butuh seseorang untuk dibisikin, "Jaga kesehatan, yah... Karena ada orang yang akan sedih, kalo kamu enggak baik-baik saja."

Aaaahhhh

Jumat, 18 Maret 2016

Tentang Rindu yang Menyesakkan

Diposting oleh Wulan Mardianas di 06.36 0 komentar
Ketika suara tak mampu lagi meredam rindu.

Allah, dengan segala kerendahan hati saya memohon... berilah kesembuhan untuk Bapak. Sehatkan. Pulihkan. Karuniakanlah umur yang panjang dan penuh berkah.

Allah, dengan segala kerendahan hati saya memohon... berilah kesehatan yang baik untuk Emak. Bahagiakan hatinya, tenangkan pikirnya, gemukkan tubuhnya. Iya, seperti dulu. Panjangkan umurnya.

Beri saya kesempatan untuk bisa membahagiakan mereka. Membanggakan mereka. Lebih lama menatap senyum mereka. Memeluk. Merengkuh. Mendekap tubuh mereka. Mencium tangan mereka.

Malam ini, tak ada yang lebih saya rindukan kecuali mereka.

I Love Us

Depok, H min 6 menuju 25
Di dalam kamar yang lampunya sengaja dipadamkan.
Terisak sendiri.
Sesak.

Jarak ini, teramat menyiksa.




 

Di Bawah Gerimis Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting