Cute Plant Dancing Kaoani | Di Bawah Gerimis

Rabu, 09 Oktober 2013

Praktik Menulis Cepat, tantangan dari Isa Alamsyah sensei

Diposting oleh Wulan Mardianas di 18.31 0 komentar

Ada sesosok hantu pria di jalanan desa. Tiap senja tiba, ia selalu melayang-layang di sebelah pohon mahoni yang musim ini daunnya tengah berwarna merah kecokelatan. Sesekali ia duduk di dahan yang rapuh dan menjuntaikan kaki dengan lemah. Ia terus memandangi jalan berkerikil di bawah, menunggu seseorang melewatinya ketika hari telah gelap dan jalanan berubah temaram.

Ia tidak tahu berapa lama menunggu. Tidak ada detik, tidak ada menit. Satu-satunya yang ia tahu hanyalah terang dan gelap. Dan sebentar lagi, perempuan itu muncul. Benar saja, ketika langit mulai bergemuruh dan lelehan hujan menyentuh daun-daun mahoni, perempuan berparas ayu itu berjalan dengan memanggul payung di satu sisi pundaknya. Di tengah udara dingin yang kian menusuk, ia tidak berupaya melarikan diri. Berjalan pelan, menikmati setiap langkah.

“Hujan pertama,” bisik perempuan itu lemah.

“Larilah, nanti kau sakit,” balasnya.

Melihatnya seperti itu, hantu pria menjadi sedih. Dalam sekali lompatan, ia telah berada di sebelah si perempuan dan berusaha mengimbangi langkahnya yang gontai. Tapi, sekuat apapun sang hantu berteriak, perempuan itu tetap bergeming. Tetap diam dalam rasa sakit yang sama dengan yang ia rasakan.

Tiba-tiba perempuan itu menoleh, dan mereka saling menatap, meski sesungguhnya yang perempuan itu lihat hanya hamparan kosong tanpa warna. Sang perempuan mendengus sedih, ia lalu mempercepat langkah meninggalkan hantu pria. Ia menunduk lesu, dan melayang kembali. Kali ini tidak mendarat di pohon mahoni, tapi terus terbang hingga menembus langit. Sudah 40 hari, dan ia harus cepat pergi.

“Aku menunggu dengan sabar di atas sini, istriku.”

-x-

Ceritanya ngaco? Atau kacau? Well, saya sedang mempraktikkan tips menulis cepat ala Pak Isa Alamsyah. Meski tidak secepat itu, tapi cerita di atas tetap memecahkan rekor menulis tercepat saya. Dan pengalaman pertama menulis cepat itu… susah. Permasalahannya ternyata bukan karena beberapa tuts keyboard saya rusak, tapi semakin ditekan, ternyata otak saya semakin lemot. Padahal saya pikir, selama ini baru bisa melakukan sesuatu ketika mepet deadline saja lho, tapi ternyata ketika otak dipaksa begini, hasilnya amburadul juga. Dan satu hal yang saya benci, ketika saya menulis asal-asalan, yah, seperti ini contohnya, mood saya jadi kacau. Apa ini excuse semata? Atau memang seperti ini saya yang sesungguhnya? Padahal kalau terlalu bebas, jatuhnya malah jadi malas. Terlalu bebas juga membuat saya tidak nyaman. 

Tetap dikontrol, tetap dikasih rambu-rambu yang jelas, tapi tidak terlalu ditekan. Sepertinya itulah metode paling tepat buat saya.

Oke, jadi begini perintah Pak Isa, “ambil salah satu buku lalu ceritakan tentang buku itu.” Saya mengubahnya sedikit dengan, “Dengarkan sebuah lagu, dan tulis cerita berdasarkan interpretasiku sendiri.” Dan… terpilihlah sebuah lagu dari Payung Teduh yang berjudul Resah. Lagunya adem, teduh banget, dan liriknya ‘dalem’. So touching dan so inspiring pokoknya.

Resah
Song: Is 
Lyric: Ketjak

Aku ingin berjalan bersamamu
Dalam hujan dan malam gelap
Tapi aku tak bisa melihat matamu

Aku ingin berdua denganmu
Diantara daun gugur
Aku ingin berdua denganmu
Tapi aku hanya melihat keresahanmu

Aku menunggu dengan sabar
Diatas sini melayang-layang
Tergoyang angin , menantikan tubuh itu             

Credit to: http://payungteduh.blogspot.com/p/lyrics.html


Selasa, 08 Oktober 2013

Jalani Saja

Diposting oleh Wulan Mardianas di 17.58 1 komentar

Apa sih yang dilakukan setelah lulus? Kerja? Buka usaha? Serius nyemplung ke dunia menulis? Menikah? Entahlah. Rasa-rasanya hal paling normal buat dilakukan sekarang adalah bekerja. Ngantor seminggu enam kali, dengan delapan jam kerja atau sampai si bos pulang, gajian tiap tanggal muda, dan tidur sepanjang hari setiap libur. Ish! Jujur saja, bayangan itu bikin saya mau tidak mau jadi merasa sedih (?). Bahkan merinding. Tentu saja, bukan pekerjaan seperti itu yang saya harapkan. Tentu saja, bukan hal itu yang hidup di kepala saya (sampai saya kembali sadar, bahwa bayangan selalu saja lebih indah, yes!). Tapi ketika ijazah sudah di tangan dan kuncir toga telah berpindah ke kanan, itulah hal paling wajar yang harus dilakukan. Minimal bagi saya.

Oke, mari sejenak bongkar-bongkar kepala saya. Dulu… dulu sekali ketika saya masih berada di semester tengah, bayangan saya ketika usia sudah 22, saya bisa memilih sendiri pekerjaan yang saya inginkan, punya jam kerja fleksibel dan bisa liburan ke mana saja meski dengan budget minim. Hidup dengan menulis, misalnya. Tapi ternyata, keadaan tidak semudah itu. Saya tidak akan pernah bisa mendapatkan uang dari menulis jika saya masih sepangkeh ini. Kata salah seorang teman, ‘Iwul terlalu idealis’ dan idealisme kolot seperti yang saya punya tidak berguna di mana pun kecuali saya hidup di planet Pluto. Pada satu titik saya akhirnya sadar, bahwa jika kau tidak punya uang atau tidak terlalu pintar, maka kau tidak berhak jadi pribadi yang sok idealis. Fine… oleh karena itu, saya harus bekerja, saya harus punya uang agar bisa berkarya tanpa mengharap balasan finansial.

Tapi hey, itu dulu. Sekarang, di usia 22 yang sebenarnya, saya harus siap-siap menjadi tulang punggung keluarga. Paling tidak, bisa membantu orang tua sedikit-sedikit. Jadi mau tidak mau, suka tidak suka, saya harus bekerja. Gaji tidak terlalu besar asalkan tetap, tidak apa. Itulah satu-satunya pilihan, meski mungkin bukan pilihan final. Dan saya sungguh-sungguh berharap, semoga saya cepat kerasan di tempat kerja. Semoga saya betah menjalani rutinitas itu. Semoga saya bertemu orang-orang baik yang kelak bisa menjadi sahabat saya. Dan semoga saya enjoy dengan perubahan aktivitas saya nanti. Insya Allah. Dengan niat baik, niat mencari nafkah, saya yakin, meski tidak mudah, saya bisa menjalaninya. Sampai suatu saat nanti, saya pantas memilih jalan saya sendiri.

Selasa, 09 Juli 2013

Label

Diposting oleh Wulan Mardianas di 07.32 0 komentar
Ingat celetukan salah seorang tetangga bertahun-tahun lalu (Benar-benar sudah bertahun-tahun karena waktu itu saya masih kelas 3 SMP sedangkan tetangga saya itu kelas 3 SMK, sekarang mah sudah punya anak TK). Gak ingat pasti waktu itu kita lagi ngomongin apa, ujug-ujug sampailah kita pada bahasan band yang lagi booming ketika itu, Peterpan. Oke-oke, sekarang mereka sudah ganti nama menjadi Noah. Gak tahu gimana awalnya, yang saya ingat, saya bilang begini, “Aku gak suka sama Peterpan.”

Eh si tetangga itu nyemprot saya dengan gaya sok-sokan, “Jaman sekarang kok gak suka Peterpan. Hari gini yang gak suka Peterpan itu gak gaul.”

Bodohnya saya, saat itu cuma bisa terbengong-bengong dengan mulut megap-megap. Saya langsung protes dalam hati, saya kan memang gak suka Peterpan, tapi saya suka Green Day, My Chemical Romance, Good Charlotte sama Muse -___- (Andai memang itu arti 'gaul' yang dia maksudkan)
Ahh, saya orang yang buruk, tidak bisa mempertahankan apa yang saya yakini dengan argumen-argumen keren.
Tapi Mbak Tetangga yang terhormat, meski saya gak suka Peterpan, bukan berarti saya gak tahu-menahu soal Peterpan. Saya bahkan yakin, tetangga saya itu masih newbie jadi fans-nya Peterpan, padahal saya tahu tentang Peterpan sejak kurang lebih satu tahun sebelum tuduhan gak gaul itu terjadi.

Saya jadi berpikir, kira-kira apa motif di balik tudingan itu? Oke, saya akan mencoba membangun beberapa hipotesis. Berdasarkan kegalauan karena dikatakan gak gaul di atas, maka hipotesis dari penelitian ini adalah:

H1: Diduga bahwa variabel ‘penulis gak suka Peterpan’ dan variabel ‘penulis anak rumahan’ secara bersama-sama akan mempengaruhi status ‘anak gaul’ secara signifikan.
H2: Diduga bahwa penulis telah menyakiti sejarah permusikan Indonesia karena tidak menyukai produk dalam negeri.
H3: Diduga bahwa si tetangga memang memiliki sindrom ceplas-ceplos sehingga tidak sadar bahwa tuduhannya cukup nyelekit bagi siswa kelas 3 SMP yang mana ingin dianggap sedang gaul-gaulnya.
H4: Diduga bahwa variabel ‘penulis terlalu lebay karena mengungkit-ungkit permasalahan di masa lampau’ adalah variabel yang paling dominan yang mempengaruhi penelitian ini.
H5: Diduga bahwa penulis mengusung nama NOAH karena ingin meningkatkan trafik blog yang terbengkalai.

Oke, saya cukup paham dengan definisi gaul versi anak sekolah dengan versi KBBI. Ada perbedaan arti di sana. Dan kalau dipikir-pikir, dari kedua versi itu, saya tetap merasa bukan orang gahol, mamen...
Masalahnya, saya jadi berpikir, ternyata kita begitu mudahnya melabelkan seseorang hanya dengan sekali lirik saja. Seperti halnya tetangga yang mengatakan saya tidak gaul karena tidak satu selera dengan dia, saya pun lumayan sering berperilaku seperti itu terhadap orang lain. Dan ada beberapa orang yang pernah menjadi korban saya. Di antaranya adalah:

1. Eka Cahya Olista Constantia
Kenapa namanya lengkap banget? Karena ada beberapa Eka yang pernah mampir di kehidupan pertemanan saya. Jadi, kesan pertama waktu ketemu Eka tuh, “Gila… ini cewek jutek amat. Sombong ini pasti.” Begitu pula setelah beberapa kali pertemuan, saya dan Eka masih sama-sama diem. Palingan kalo ada beberapa hal yang bisa ‘dibasa-basikan’ kita baru bisa ngobrol. Well, kita ini sama-sama bukan tipe ice-breaker yang bisa wesheweshewes ngomongin banyak hal dengan orang-orang baru. Dan ternyata, setelah kenal lama dengan Eka, dia berbeda sekali dengan kesan pertama saya. Eka yang saya anggap jutek dan sombong itu ternyata gampang sekali tersentuh. Kita bisa jalan kaki menyusuri pecinan sambil nangis berdua saat melihat kakek-kakek yang sudah begitu tua tertatih-tatih membawa beban berat di punggungnya. Kita bisa merenung sedih ketika melihat kakek penjual kacang godog di alun-alun yang tangannya gemetaran ketika menjajakan dagangannya karena sudah tidak layak lagi bekerja.
Saya tahu akan banyak orang tersentuh menyaksikan hal-hal itu. Tapi percayalah, hanya dengan Eka saya pernah menangisi orang lain yang benar-benar orang lain.
2. Dila
Saya ingat sekali waktu awal-awal kuliah, Dila ini sering dianggap bergaya karena dia ngomong gue-elo di areal kampus. Saya sadar sih, di kota kecil setara Magelang, penggunaan gue-elo memang terdengar tidak lazim. Tapi untuk hal itu, terus terang saya gak ikutan berkomentar, karena… yah, setidaknya Dila tidak merugikan atau menyakiti hati orang lain (Berbeda dengan Eka, sikap juteknya sempat bikin saya sakit hati). Hingga pada suatu sore, saya dan teman masih terjebak di perpus fakultas karena ada tugas yang belum bisa kami selesaikan. Waktu itu Dila mendatangi kami, lalu nanya kenapa belum selesai, ada kesulitan gak, bagian mana yang gak kami mengerti. Dan dengan telatennya dia ngasih tahu kami, dia juga mendebat beberapa pendapat saya dengan alasan yang kuat dan benar. Sampai akhirnya saya dan teman sama-sama paham.
Saat di jalan pulang, teman saya langsung bilang, “Ternyata Dila baik, ya.” Tentu saja. Baik banget malah. Dila gak cuma basa-basi menawarkan bantuan, tapi dia membantu kita SUNGGUH-SUNGGUH, SAMPAI TUNTAS!
Dari situ, saya belajar… bahwa saya memang tidak perlu mengeluarkan statemen buruk tentang orang lain hanya karena satu hal kecil yang mengganggu pandangan saya. Saya tidak bisa mengatakan bahwa seseorang tidak keren karena dia penggemar boyband/girlband dan bukannya suka Avenged Sevenfold (mereka salah satu yang sering saya hujat -___- maafkan saya ya… gak lagi-lagi deh, suwer!) Saya tidak bisa kowar-kowar bahwa seseorang terkesan norak karena dia suka musik dangdut, atau dia kelihatan sombong karena jarang tersenyum, toh bisa jadi dia gak senyum karena memang dasarnya pemalu. Intinya, meski saya masih sering melakukan kesalahan seperti di atas, tapi saya akan berusaha jauh lebih keras untuk meminimalisirnya. Semoga ke depannya, saya bisa lebih lihai menghadapi hal-hal tersebut. Semoga saya tidak menambah daftar panjang korban-korban tidak bersalah yang pada akhirnya justru saya sesali sendiri. Semoga saya bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

Kamis, 04 Juli 2013

Makanya Belajar!

Diposting oleh Wulan Mardianas di 23.27 0 komentar
Saya ingat ketika dulu… dulu sekali, beberapa orang sering berpesan, “Sekolah yang tinggi! Jangan seperti bapak. Bapak tidak sekolah, setelah tua rasanya menyesal.” Dan benar saja. Itulah yang saya rasakan akhir-akhir ini. Menyesal. Astaghfirullah… iya, menyesal! Jujur saya tidak tahu dengan serentetan kejadian yang membuat saya merasa digempur dengan penyesalan belakangan ini. Kenapa saya harus ‘dipertemukan’ dengan orang-orang ini? Kenapa, Tuhan? Dan sialnya lagi, ternyata saya SUDAH menyesal bahkan sebelum merasakan masa tua. Saya juga tidak menyesal karena tidak bersekolah. Saya menyesal karena satu hal yang saya rasa jauh lebih penting dari sekolah. BELAJAR!

Seandainya dulu saya belajar sungguh-sungguh… seandainya saya tidak terlalu malas… seandainya saya, ah sudahlah!

Semua berawal ketika saya menemukan blog-nya Mbak Orissa, pacar dari pemenang Stand Up Comedy Indonesia season 2, Bang Ge Pamungkas. Bukan maksud saya buat jadi penguntit, saya hanya… yah, saya suka membaca salah satu entri tentang anjingnya yang meninggal. Karena tulisannya asyik, saya ketagihan buat ‘ngemil’ lebih banyak lagi. Hingga pada akhirnya saya mengetahui suatu kenyataan. Kenyataan yang terus terang bikin saya sesak napas selama berhari-hari; Mbak Orissa pernah bekerja di Jerman ketika usianya masih 22. Wow. Biar saya ulang sekali lagi. WOW! Dan, marilah menilik dengan sisa-sisa 22 yang saya miliki, saya masih sempoyongan berkutat dengan skripsi! Tidak, tidak, saya tidak bercanda. Ketika Mbak Orissa sudah menjelajah negara-negara di Eropa, saya MASIH BELUM MELAKUKAN APA-APA!!! Saya benar-benar NOL BESAR! Bangunlah, Wulan… Cepat sadar!

Dua kata buat Mbak Orissa; merdeka dan smart.

Kemudian pengalaman-pengalaman hebat──yang menyesakkan─lainnya bertubi-tubi mengacaukan hari-hari saya. Yakni ketika saya tersasar di website DBL (Development Basketball League). Kenyataan bahwa saya  tidak pernah merasakan kemenangan yang berarti selama 22 tahun ini membuat saya cukup sensitif. Jadi tidak salah bila saya bisa menangis hebat ketika melihat Bagas dinobatkan menjadi pemenang Idola Cilik──abaikan! Ketika itu trenyuh sekali membaca dan mengamati foto-foto cewek SMA berbaju basket yang menyuguhkan kemenangan tim mereka di hadapan 10.000 penonton. Ya ALLAH… keren sekali. Belum lagi waktu saya menemukan pemenang penulis artikel dan fotografer terbaiknya, membuat saya tercenung lama sambil bertanya dalam hati: Apakah saya menghabiskan masa-masa sekolah dengan berbagai prestasi? Sayang sekali, saya tidak.

Dan malam ini, saya meluncur ke blognya Mbak Titish AK, yang merupakan penulis teenlit A Little White Lie (sudah sampai cetakan ke-13 dan sudah dibuat FTV) lagi-lagi saya merasa tertampar. Malu, sesek, miris. Dan satu lagi, menyesal. Mbak Titish AK yang merupakan alumni Sastra Indonesia UGM ini ternyata pernah mengikuti summer school di Belanda, dan jalan-jalan di beberapa kota di Eropa. Mbak Titish yang orang Jogja pernah merasakan udara di Eropa dan tentu saja itu gratis. Gratis, mamen... Jadi ceritanya, Mbak Titish ini mengikuti kompetisi menulis di blog dan menjadi salah satu juara yang akhirnya diterbangkan ke sana. Lagi-lagi saya tergugu, kali ini dengan wajah membersut. Saya jadi paham, ternyata ‘kewajiban’ penulis itu bukan hanya menulis. Tapi juga cerdas. Seperti Mbak Titish. Muda, cerdas, dan pintar.

Lalu, apa yang sudah saya kerjakan selama bertahun-tahun ini? Saya tipikal orang santai dari sekian banyak siswa-siswa santai lainnya. Saya tidak suka pelajaran di sekolah, saya tidak suka mempelajari sesuatu yang tidak ada signifikansinya terhadap kehidupan, saya malas! Tapi sekarang, setelah dua puluh dua tahun, saya merasa ‘dikunyah’ habis-habisan dengan kebiasaan buruk tersebut. Ya, saya pantas mendapatkannya!

Seandainya bisa kembali ke masa-masa SD, saya tidak akan mengeluh bila harus mengurangi jatah kelayapan ke sungai dan manjat pohon jambu milik tetangga untuk belajar lebih serius. Seandainya bisa kembali menjadi anak SMP, saya akan mati-matian belajar Fisika, Matematika, Bahasa Inggris dan pelajaran lain yang sempat bikin alergi. Seandainya ada kesempatan untuk mengulang masa SMA, saya akan dengan senang hati bercapek-capek mengikuti kegiatan eskul. Atau paling tidak, saya tidak boleh terlalu malas membaca. Dan menulis dengan benar-benar ‘benar’.

Saya benci menjadi gadis 22 tahun yang tidak bisa casciscus berbahasa Inggris. Saya benci menjadi gadis 22 tahun yang tidak memiliki prestasi. Saya benci menjadi gadis 22 tahun yang tidak ke mana-mana.

Bagi kalian yang masih SMP, masih SMA, masih unyu-unyu dan sedang aktif-aktifnya, banyaklah belajar. Belajar apa saja. Belajar SEMUANYA. Percayalah, tidak akan ada yang sia-sia dengan pelajaran-pelajaran membosankan itu. Ayo segeralah buka buku, tingkatkan nilai, eksplor kemampuan kalian. Selagi masih sempat, selagi masih sangat muda, selagi masih punya wadah. Agar tidak ada penyesalan di umur 22. Ya, seperti saya.

Dan bagi saya sendiri, saya berterima kasih kepada Allah yang telah mempertemukan saya dengan tokoh-tokoh keren di atas. Tokoh-tokoh hebat yang inspiring sekali. Oke, di tengah-tengah rasa penyesalan ini, saya masih harus belajar.

Semoga tidak satu pun dari kita yang akan merasakan penyesalan lebih lama lagi. Satu tahun berikutnya, saya berharap sudah menjadi Wulan yang berbeda. Wulan yang sedikit lebih baik.
 

Di Bawah Gerimis Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting