Saya kira, bakal merasa aman setelah berada ratusan kilometer dari rumah. Pasalnya, semenjak beberapa bulan terakhir, orang tua semakin getol menyuruh untuk segera menikah. Well, bukan karena tidak atau belum ingin menikah. Simply, karena belum menemukan seseorang yang tepat.
Parahnya, orang paling tepat seperti apa, saya bahkan tidak tahu.
Setidaknya, saya bersyukur. Saya masih bertahan tidak mengambil keputusan nekat, seperti... cepat-cepat menikah karena dikejar-kejar orang tua (plus disiapkan calonnya). Atau menikah karena lari dari kenyataan pahit bernama patah hati.
Pilihan pertama sepertinya tidak mungkin saya lakukan. Tapi pilihan kedua (mengingat saya begitu emosional) bisa saja terjadi. Beberapa bulan lalu, hampir saja saya iya-iya kan siapa saja yang ngajak kawin, karena patah hati berat.
Tapi untung, pikiran saya masih waras. Saya lantas tidak bilang ya, malahan memilih menghindar sejauh mungkin, karena kenyataannya, semakin orang itu gigih, saya semakin jengah. Bukannya belajar untuk menerima, malahan saya semakin sulit melupakan dia yang mematahkan hati (apa kabar kamu yang bulan depan berusia tiga puluh? Semoga segera menikah).
Kesimpulannya, wanita tidak pandai menjadikan seseorang sebagai pelarian semata. Kami... mencintai dengan hati #uhuk.
Kini, setelah yakin hati ini sudah sembuh dan barangkali memang ingin menikah, saya masih bingung. Saya benar-benar ingin menikah dengan niat ibadah, atau sekadar takut kesepian?
Sekali lagi, ada orang datang ke rumah, berniat baik. Kami belum pernah bertemu, dan saya masih tetap tidak tahu harus berbuat apa. Alhasil, biarlah berlalu saja. Saya menolak pulang. Bapak sampai jengah dengan sikap saya. Dan sisi baiknya, beliau akan membiarkan saya memilih sendiri. Saya senang, tapi juga bingung. Karena memang sedang di antara nol pilihan. Totally jomblo (bukan single. Setidaknya, single itu jomblo yang punya gebetan--sederhananya begitu).
Saya berdoa agar dipilihkan satu saja yang cocok untuk partner seumur hidup, partner merawat dan mendidik anak, partner di dunia dan akhirat, yang mencintai saya, dan saya mencintainya, yang mana kami sama-sama nyaman berbagi, dari hal kecil sekelas berbagi sisir, berbagi tawa, berbagi masalah, berbagi isi dompet, berbagi isi kepala, berbagi isi hati, berbagi pelukan, berbagi ranjang, berbagi cairan tubuh.
Tidak ada yang merasa direndahkan, tidak ada yang merasa dirugikan. Tidak saling meremehkan. Tidak melempar kata-kata tajam. Tidak merasa selalu benar. Tidak cemburu berlebihan. Tidak terlibat hubungan sentimentil dan menggebu-gebu namun melelahkan. Dia boleh lebih dominan karena dia imam, tanpa harus membuat saya merasa jauh di bawah (saya butuh sesekali berada di atas hahaha).
Cukup kami hidup bersama, tidak mempedulikan ocehan dunia yang tidak penting, berdedikasi untuk mewujudkan rumah tangga yang bahagia, berdaya juang untuk hidup yang lebih baik. Aduh, sampai di sini kok ya rasanya berat sekali.
Allah. Saya tidak hanya ingin mendapat izin-Mu, tapi juga ridho-Mu. Tolong, mudahkanlah, dan jangan dipersulit. Tuntunlah hatinya agar menuju arah saya, dan tuntun hati saya agar mendekat ke arahnya.
Pertemukan dan persatukan kami.
Semoga saya baik untuk dia dan keluarganya. Dan dia baik untuk saya serta keluarga saya.
Rabb, saya wanita biasa. Tidak menuntut agar dia luar biasa. Semoga, dia pun tidak berekspektasi berlebih terhadap saya.
Jadi, kalau ada yang bertanya, "Kapan nikah?"
Cukup jawab... secepatnya. Semoga saja Malaikat lewat dan mengaminkannya dengan senyum.
Sampai di sini, saya masih sangat yakin, hidup selalu penuh kejutan.
Jumat, 08 Januari 2016
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar