Cute Plant Dancing Kaoani Tentang Waktu yang Bergulir Cepat | Di Bawah Gerimis

Selasa, 05 Januari 2016

Tentang Waktu yang Bergulir Cepat

Diposting oleh Wulan Mardianas di 19.43
Sewaktu kecil saya pernah menonton film animasi. Jujur saya lupa-lupa ingat dengan ceritanya.

Mengisahkan tentang seorang anak laki-laki usia tanggung, yang sempat mengeluhkan kehidupannya. Sebenarnya, ia memiliki hidup yang normal selayaknya anak lain seusianya. Namun anak laki-laki ini merasa hidupnya terlalu biasa, ia tidak merasa bahagia.

Anak laki-laki ini memiliki seorang sahabat wanita yang ia taksir diam-diam. Suatu ketika, si anak lelaki harus berangkat sekolah seorang diri. Di perjalanan, di bawah pohon besar, ia bertemu seorang kakek tua yang tampaknya bijak. Si kakek memberikan sebuah benda, semacam yoyo. Benda bulat dengan gulungan tali berbahan wol yang bisa ditarik. Sang kakek memberitahu bahwa anak lelaki ini akan mendapat musibah berat. Dan jika itu terjadi, dia harus menarik tali tersebut, maka ia akan—semacam—dapat melompati waktu.


Namun, benda itu hanya boleh digunakan pada kondisi yang sangat genting.

Singkatnya, si anak lelaki ini benar-benar hampir tertimpa musibah. Dan sesuai pesan si Kakek, ia menarik tali ‘yoyo’, kemudian, berlalulah musibah itu. Meski yang terjadi sesungguhnya, ia berhasil melompati waktu. Maju beberapa jam.


Tetapi... ada yang tidak diindahkan oleh si Anak.


Ketika di rumah kena marah ibu, ia akan menarik tali, dan… alakazam! Waktu berlalu…
Ketika di kelas merasa bosan, ia akan menarik tali, dan… waktu berlalu.
Ketika dia mencoba mengutarakan perasaan terhadap temannya, dan sang teman masih bergeming, si anak lelaki yang tidak tahan dengan rasa malu dan canggung, kembali menarik tali. Sekali lagi, waktu berlalu.


Setiap kali ada hal-hal yang membuat perasaannya tidak nyaman, si anak lelaki akan terus menarik, dan menarik tali hingga waktu berlari semakin cepat.


Tahu-tahu, dia sudah dewasa. Telah menikah dengan sang teman.
Dan kebiasan ‘melarikan diri’ dari masalah dengan cara melompati waktu masih terus ia lakukan. Hingga… suatu pagi ia terbangun dari tidur, tiba-tiba ia sudah sangat tua. Dengan rambut dominan putih, tubuh yang sudah tidak sekuat dulu. Dan istrinya telah meninggal. 


Lelaki ini merasa sedih sekali. Dia merasa baru hidup sangat sebentar, namun waktu berlalu begitu cepat. Dan kini ia merasa benar-benar hampa. Dia telah melewatkan banyak hal tanpa melakukan sesuatu yang berarti.

Ia ingin menemui si Kakek, namun orang itu sudah tidak ada di dunia. Ia ingin menarik benda itu sekali lagi, berharap segalanya berakhir. Tapi, ia sudah sampai di batas akhir gulungan tali, sehingga tidak bisa lagi menarik talinya. Hari-hari menyedihkan ia lalui seorang diri.
 

Menengok ke belakang, ia baru teringat pesan sang Kakek. Namun, semua sudah terlambat. Dia hanya harus menikmati masa tua seorang diri.
 

Ia baru sadar bahwa setiap hal dalam hidupnya, baik yang menyenangkan, maupun menyakitkan, semua sangat berarti. Ia baru paham, bahwa setiap detik sangat berharga, dan tidak pantas disia-siakan. Ia baru mengerti, bahwa setiap momentum, seharusnya menjadi sebuah pembelajaran.
 

Karena sesungguhnya, kehidupan merupakan rangkaian proses yang indah.

Hingga kemudian, ia menangis dirundung kesedihan yang dalam. Ia ingin apa yang sempat dimiliki, dapat kembali lagi. Si-anak-lelaki-yang-kini-menua itu memegangi benda ajaib itu dengan penuh harap. Hingga pecah menjadi serpihan-serpihan.


Pagi hari saat ia bangun. Ia masih seorang anak lelaki. Ia berangkat sekolah tanpa mengeluh. Ia menghampiri teman perempuannya dengan senyum. Ia tidak ingat apa yang terjadi. Hanya saja, ia memiliki pemahaman baru… bahwa hidup adalah tentang menjalani waktu demi waktu sebaik yang kita bisa. Bahwa hidup adalah tentang… mensyukuri setiap hal kecil yang terjadi.


-x-


Dulu, setiap kali mengalami kejadian buruk, saya sering berlaku seolah-olah memiliki benda pengendali waktu tersebut. Pura-pura menariknya, dan hal buruk akan segera berlalu. 


Dan tahu-tahu saja, semua memang sudah berlalu. Manisnya bulan Ramadhan serta Idul Fitri di masa anak-anak. Bahagianya mendapat rangking bagus. Malunya saat mengompol di kelas. Hebohnya main-main setiap pulang sekolah. Senangnya setiap kali pergi bersama Bapak-Ibu. Betapa riangnya bermain dengan teman-teman sekampung di Sabtu sore, nonton film kartun di Minggu pagi.


Dan tahu-tahu saja, hari-hari itu memang sudah terlewat. Masa ABG yang malu-malu. GR-nya mendapat ‘salam’ dari kakak kelas. Deg-degannya saat berjalan di dekat orang yang disukai.


Dan tahu-tahu saja, semua memang sudah berakhir. Persahabatan di masa SMA. Patah hati pertama. Kegagalan pertama. Rasa takut ketika mendapat hukuman dari guru.


Dan tahu-tahu saja, setiap hal menjadi tidak sama lagi.


Jalan berdua dan menggila dengan sahabat. Tertawa sampai keluar air mata. Curhat sampai nangis-nangis, seperti dulu—rasanya sudah tidak mungkin, ketika ia sudah menjadi seorang istri, dan calon ibu.


Kumpul-kumpul bersama teman dengan formasi komplit—juga tidak mungkin, mengingat dua yang lain sudah menikah, sementara kami semua sibuk dengan rutinitas masing-masing.


Tiba-tiba saja semua sudah berlalu.

 
Masih melekat dalam ingatan, ketika pertama kali mulai mampu mengingat hari-hari yang dijalani (entah usia tiga atau empat tahun, atau berapa) Wulan Kecil bicara sendiri sambil menatap langit, “Rasanya… seperti bangun tidur.”


Bahkan tanpa melompati waktu, cepat sekali tahun-tahun berganti.


Saya mulai khawatir, jangan-jangan, masa dewasa pun akan berlalu begitu cepat. 


Maka, mari manfaatkan waktu sebaik mungkin. Dan merangkai banyak kenangan.

Mari.


Selagi sempat.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Di Bawah Gerimis Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting