Ingat
celetukan salah seorang tetangga bertahun-tahun lalu (Benar-benar sudah bertahun-tahun
karena waktu itu saya masih kelas 3 SMP sedangkan tetangga saya itu kelas 3
SMK, sekarang mah sudah punya anak TK). Gak ingat pasti waktu itu kita lagi
ngomongin apa, ujug-ujug sampailah kita pada bahasan band yang lagi booming ketika itu, Peterpan. Oke-oke,
sekarang mereka sudah ganti nama menjadi Noah. Gak tahu gimana awalnya, yang
saya ingat, saya bilang begini, “Aku gak suka sama Peterpan.”
Eh
si tetangga itu nyemprot saya dengan gaya sok-sokan, “Jaman sekarang kok gak
suka Peterpan. Hari gini yang gak suka Peterpan itu gak gaul.”
Bodohnya
saya, saat itu cuma bisa terbengong-bengong dengan mulut megap-megap. Saya
langsung protes dalam hati, saya kan memang gak suka Peterpan, tapi saya suka
Green Day, My Chemical Romance, Good Charlotte sama Muse -___- (Andai memang itu arti 'gaul' yang dia maksudkan)
Ahh,
saya orang yang buruk, tidak bisa mempertahankan apa yang saya yakini dengan
argumen-argumen keren.
Tapi
Mbak Tetangga yang terhormat, meski saya gak suka Peterpan, bukan berarti saya
gak tahu-menahu soal Peterpan. Saya bahkan yakin, tetangga saya itu masih newbie jadi fans-nya Peterpan, padahal
saya tahu tentang Peterpan sejak kurang lebih satu tahun sebelum tuduhan gak
gaul itu terjadi.
Saya
jadi berpikir, kira-kira apa motif di balik tudingan itu? Oke, saya akan mencoba
membangun beberapa hipotesis. Berdasarkan kegalauan karena dikatakan gak gaul
di atas, maka hipotesis dari penelitian ini adalah:
H1:
Diduga bahwa variabel ‘penulis gak suka Peterpan’ dan variabel ‘penulis anak
rumahan’ secara bersama-sama akan mempengaruhi status ‘anak gaul’ secara
signifikan.
H2:
Diduga bahwa penulis telah menyakiti sejarah permusikan Indonesia karena tidak
menyukai produk dalam negeri.
H3:
Diduga bahwa si tetangga memang memiliki sindrom ceplas-ceplos sehingga tidak
sadar bahwa tuduhannya cukup nyelekit bagi siswa kelas 3 SMP yang mana ingin dianggap sedang gaul-gaulnya.
H4:
Diduga bahwa variabel ‘penulis terlalu lebay karena mengungkit-ungkit
permasalahan di masa lampau’ adalah variabel yang paling dominan yang
mempengaruhi penelitian ini.
H5:
Diduga bahwa penulis mengusung nama NOAH karena ingin meningkatkan trafik blog
yang terbengkalai.
Oke,
saya cukup paham dengan definisi gaul versi anak sekolah dengan versi KBBI. Ada
perbedaan arti di sana. Dan kalau dipikir-pikir, dari kedua versi itu, saya tetap
merasa bukan orang gahol, mamen...
Masalahnya,
saya jadi berpikir, ternyata kita begitu mudahnya melabelkan seseorang hanya
dengan sekali lirik saja. Seperti halnya tetangga yang mengatakan saya tidak
gaul karena tidak satu selera dengan dia, saya pun lumayan sering berperilaku
seperti itu terhadap orang lain. Dan ada beberapa orang yang pernah menjadi korban
saya. Di antaranya adalah:
1. Eka Cahya Olista Constantia
Kenapa namanya lengkap banget? Karena ada beberapa Eka yang
pernah mampir di kehidupan pertemanan saya. Jadi, kesan pertama waktu ketemu Eka
tuh, “Gila… ini cewek jutek amat. Sombong ini pasti.” Begitu pula setelah
beberapa kali pertemuan, saya dan Eka masih sama-sama diem. Palingan kalo ada
beberapa hal yang bisa ‘dibasa-basikan’ kita baru bisa ngobrol. Well, kita ini sama-sama bukan tipe ice-breaker yang bisa wesheweshewes
ngomongin banyak hal dengan orang-orang baru. Dan ternyata, setelah kenal lama
dengan Eka, dia berbeda sekali dengan kesan pertama saya. Eka yang saya anggap
jutek dan sombong itu ternyata gampang sekali tersentuh. Kita bisa jalan kaki
menyusuri pecinan sambil nangis berdua saat melihat kakek-kakek yang sudah begitu
tua tertatih-tatih membawa beban berat di punggungnya. Kita bisa merenung sedih
ketika melihat kakek penjual kacang godog di alun-alun yang tangannya gemetaran
ketika menjajakan dagangannya karena sudah tidak layak lagi bekerja.
Saya tahu akan banyak orang tersentuh menyaksikan
hal-hal itu. Tapi percayalah, hanya dengan Eka saya pernah menangisi orang lain
yang benar-benar orang lain.
2.
Dila
Saya ingat sekali waktu awal-awal kuliah, Dila ini
sering dianggap bergaya karena dia ngomong gue-elo di areal kampus. Saya sadar
sih, di kota kecil setara Magelang, penggunaan gue-elo memang terdengar tidak
lazim. Tapi untuk hal itu, terus terang saya gak ikutan berkomentar, karena…
yah, setidaknya Dila tidak merugikan atau menyakiti hati orang lain (Berbeda dengan Eka, sikap juteknya sempat bikin saya sakit hati). Hingga
pada suatu sore, saya dan teman masih terjebak di perpus fakultas karena ada
tugas yang belum bisa kami selesaikan. Waktu itu Dila mendatangi kami, lalu
nanya kenapa belum selesai, ada kesulitan gak, bagian mana yang gak kami
mengerti. Dan dengan telatennya dia ngasih tahu kami, dia juga mendebat beberapa
pendapat saya dengan alasan yang kuat dan benar. Sampai akhirnya saya dan teman
sama-sama paham.
Saat di jalan pulang, teman saya langsung bilang, “Ternyata
Dila baik, ya.” Tentu saja. Baik banget malah. Dila gak cuma basa-basi
menawarkan bantuan, tapi dia membantu kita SUNGGUH-SUNGGUH, SAMPAI TUNTAS!
Dari situ, saya belajar… bahwa saya memang tidak perlu
mengeluarkan statemen buruk tentang orang lain hanya karena satu hal kecil yang
mengganggu pandangan saya. Saya tidak bisa mengatakan bahwa seseorang tidak keren
karena dia penggemar boyband/girlband dan bukannya suka Avenged Sevenfold (mereka
salah satu yang sering saya hujat -___- maafkan saya ya… gak lagi-lagi deh,
suwer!) Saya tidak bisa kowar-kowar bahwa seseorang terkesan norak karena dia
suka musik dangdut, atau dia kelihatan sombong karena jarang tersenyum, toh
bisa jadi dia gak senyum karena memang dasarnya pemalu. Intinya, meski saya
masih sering melakukan kesalahan seperti di atas, tapi saya akan berusaha jauh
lebih keras untuk meminimalisirnya. Semoga ke depannya, saya bisa lebih lihai
menghadapi hal-hal tersebut. Semoga saya tidak menambah daftar panjang
korban-korban tidak bersalah yang pada akhirnya justru saya sesali sendiri. Semoga saya bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi.