Cute Plant Dancing Kaoani 2016 | Di Bawah Gerimis

Minggu, 22 Mei 2016

Depok – Tangerang, Sampai Pelaminan!

Diposting oleh Wulan Mardianas di 21.06 1 komentar
Dan semua bermula dari… rintihan hati seorang jomblo.

“Aku kapan?”

Hiks!

“Enaknya kapan?” *pletak!


Berjodoh dengan kereta yang…

Jadi, Kamis, 19 Mei 2016 kemarin saya izin nggak masuk karena saudara yang di Tangerang menikah. Aduh, padahal kan saya lebih senior (lebih tua maksudnya) eh didahului lagi, deh.

Pagi jam tujuh saya sudah berangkat menuju stasiun. Kali ini berangkat dari Stasiun Depok Baru, bukan dari Pondok Cina—bukan, bukan karena takut sama mesin kartu otomatis. Tapi karena ada barengan anak kos jalan kaki sampai stasiun.

Di tempat ini pertama kalinya saya makan yang namanya tahu gejrot *eh, siapa peduli?

Dan, ternyata!!! Penumpang kereta pagi di hari kerja itu… edunnn, penuh kali mamak!!! Saya sampai melewatkan tiga atau empat kereta, dan baru naik setelah ngendon sejam di stasiun, sudah sempat ngobrol sedikit dengan ibu-ibu, sempat celingak-celinguk ngelihatin Mbak-Mbak SPG, nenek-nenek yang berebut masuk, sampai mas-mas kenek kereta yang gagah-gagah. Eh, apa sih namanya? Bukan kenek, kan ya?! Petugas KRL berseragam lah pokoknya.

Bujangan di sarang gerbong wanita (nggak percaya kalo dia bujangan? Tanya aja sendiri.)


Lelah menanti jodoh, saya pun memaksakan diri untuk naik kereta meski masih penuh sesak. Lha masa iya saya harus nunggu kamu kereta lagi tanpa kepastian? Hayati capek… Daripada keburu tua siang, naiklah saya penuh semangat. Sesesak dan menyakitkan apa pun, itulah kereta saya. Yang rela mengantar hingga tempat tujuan. Saya berjodoh dengan kereta itu. Saya menerimanya apa adanya *uhuk*.

Hati-hati di dalam gerbong, ya, Mbak-Mbak... Jangan sambil mainan Hp.
Kalau kenapa-kenapa sama Mbaknya, bakal ada yang cedih.


Jadi teringat ucapan salah seorang penumpang tempo hari, “Pertarungan di gerbong wanita itu, luar biasa kejam!”

Yes! Pada akhirnya saya mengalami itu yang dinamakan kena sikut, kedorong-dorong, kegencet, nggak bisa pegangan—sekaligus nggak bisa jatuh. Gimana mau jatuh? Orang udah dipager betis sama emak-emak dan embak-embak. Noleh dikit ketemu muka sama muka, jadi kepengen malu.

Selain warga di atas, di dalem kereta ada eyang bawel (ini kata dia sendiri) yang minta perhatian, ada juga mas-mas penjaga yang meladeni omongannya si eyang putri. Kalau beliau bukan nenek-nenek, barangkali endingnya bakal sama kayak di FTV, laki perempuan yang setiap kali bertemu selalu perang mulut, namun tumbuhlah benih-benih cinta *eceh*. Kurang lebih pertengkaran kecil semacam itu, lah.

Ada juga ibu hamil yang pergi seorang diri. Saya yang masa kecilnya terobsesi jadi pahlawan wanita macam anggota Powerpuff Girls. Dan sempat bertahun-tahun memendam cita-cita sebagai seorang polwan, namun apa daya tubuh saya bantet (jangankan masuk polwan, daftar kerja yang ada batas tinggi minimal saja saya nggak pernah lolos kualifikasi, selalu dicutat pertama kali oleh persyaratan) sok-sok megangin tangan si ibu muda biar kagak jatuh, juga ikutan teriak, "Ada yang hamil, jangan dorong, ada yang hamiiil".

note: udah kelihatan keren belum? *kibas jilbab.

Badai pasti berlalu, kereta yang sempat berhenti cukup lama di beberapa titik pun akhirnya sampai di tujuan akhir. Tapi, hei, perjalanan saya belum berakhir. Saya masih akan berjodoh dengan kereta baru. Dan meski sepanjang jalan tadi merasa tidak nyaman, toh pada akhirnya saya sempat duduk juga kok, sekalipun hanya sepanjang dua stasiun terakhir. Bersamanya saya tidak terlalu bahagia, bukan berarti saya tidak mendapat apa-apa. Banyak hal yang bisa direnungkan dan diamati sepanjang menumpang kereta tadi.

Lagian, hidup nggak selalu diisi dengan kebahagiaan saja, kan? Tapi juga kudu bernilai *tsaahh.

Jadi, tak usah disesali.

Mengutip kalimat seseorang, “Aku tidak pernah menyesali ada abu-abu di hidupku.”

note: untuk kasus tertentu loh ya. kalau dosa ya memang harus disesali.

Dan memang, kereta dari Stasiun Duri ke Tangerang, legaaa sekali. Lihat jodoh keretaku kali ini...

Lihat!

waini...


Tapi apa daya, meski bersamanya saya merasa sangat nyaman, bisa selonjoran kalau mau, dan sempat tidur sebentar, tapi waktu kami terlalu singkat. Well, rute Duri ke Tangerang, kalau tidak salah sekitar setengah jam saja.


Stasiun Tangerang

Akhirnya sampai juga di Stasiun Tangerang. Dan rasa-rasanya saya tertular seseorang yang tidak saya kenal secara personal, seseorang yang menyukai semua hal tentang kereta. Dari stasiun, masinis, gerbong, sampai rel-relnya.

Saya jadi bertanya-tanya, adakah kisah cinta yang menyayat hati yang dimulai di tempat ini? *mulai deh, mulai.*

Wahai, para Bangku yang berjejer, ceritakan padaku, sudah berapa juta kali kau bersaksi atas kisah cinta orang lain? *senggrukkk*

Oh ya, dulu pertama kali berada di stasiun ini, saya takjub sekali. Kenapa? Karena di stasiun Tangerang, saya melihat sebuah akhir. Bukan, bukan akhir kisah cinta saya, tapi akhir rel kereta.

Sepanjang apa pun, ujung-ujungnya akan ada sebuah akhir, bukan? Mau atau tidak. (Termasuk kisah kita yang tak berawal *eh eh ini bohong xD)

Bukankah ini mengingatkan kita akan sesuatu? Seperti hidup. Hidup yang akan berakhir, entah cepat, atau lambat.

*kemudian hening...

Bagaimanapun awalnya? Semoga berakhir indah.

Dah. Mentok.

Inilah penampakan Stasiun Tangerang dari luar. Cek, cek!

Akhirnya berhasil keluar... *fiuhh


Pada dasarnya saya takut nyebrang. Tapi tetap saja, dari Magelang, Semarang, Jogja, sampai Tangerang, tak ada yang mengalahkan ketakutan saya nyebrang di Jalan Margonda Depok. Nah, di depan stasiun saya harus nyebrang, tapi tenang, jalan nggak terlalu ramai. Kalaupun mau mampir ke Robinson, ada jembatan penyeberangan, jadi tidak perlu takut.

Nah, mungkin karena saking bahagianya di sini bisa nyebrang tanpa harus merasa deg-degan dan keringat dingin, malahan saya jadi kurang waspada. Apalagi setelah sebelumnya serombongan (maaf) banci lewat. Saya mandangin mereka lamaaa sekali. Bahkan sampai Mas-mas ber-make up  menghilang dari pandangan, saya masih memperhatikan jejaknya sambil melamun.

Dan... Nyaris saja saya ketabrak!!!

Sampai diteriakin, “Neng, Nenggg!!!”

note: pakai tanda pentung biar lebih dramatis.

Tapi syukur alhamdulillah, bukan ketabrak motor apalagi mobil. Saya hanya nyaris diseruduk becak.


Kejadiannya di depan Masjid ini. Ini masjid di dekat stasiun.

Tenang, pelakunya bukan kakek ini kok. 
(Allah, sehatkan dan bahagiakan kakek ini di dunia dan akhirat nanti, aamiin.)


Perjalanan setelahnya tidak ada yang menarik, sih. Naik angkot sekali, dilanjut dengan naik ojek. Dan sampailah saya di perumahan saudara. Perjalanan Depok-Tangerang terlama yang pernah saya tempuh. Sampai empat jam, mamen! Busyet dah. (Nunggu keretanya hampir sejam.)


Menikah

Acara pernikahan diadakan dengan sederhana. Bahkan sodara-sodara di Jawa tidak banyak yang diundang. Hanya sodara dekat saja. Alhamdulillah sudah sah. Jadi bisa bertemu beberapa saudara dari kampung, lumayan mengobati kangen saya dengan kampung halaman *hiks. Habisnya, cita rasanya Magelang banget.

Si kembar asal Banjarnegara, baru kenal sudah nempel aja xD


Tentu saja selama di sana saya bertanya-tanya, kapan ya bisa ngadain resepsi? Hihihi. Kapan ya duduk di pelaminan berdua? Ahahaha. Jangan-jangan jodohnya teh masih nyasar di stasiun yang salah? Atau sudah di dalam kereta tapi jalannya selambat kereta Depok-Duri yang membawa saya pagi ini? Who knows?!

Ya sudah, biar segera ketularan, pose dulu sama penganten, meski nggak jadi di pelaminan.

Nyempil di tengah, biar pengaruhnya makin kuat. Wkwk xD



PS: Roadshow bareng artis di JIS dan Nobar Aisyah, Biarkan Kami Bersaudara semoga bisa segera diposting.

Rabu, 18 Mei 2016

Depok - Jakarta: Sekali-kalinya Menghadiri Kajian di Masjid Istiqlal

Diposting oleh Wulan Mardianas di 05.37 2 komentar
Jumat malem...

Jadi, Sabtu kemarin untuk pertama kalinya saya ikut pengajian di Masjid Istiqlal. Lantarannya diajak Jeng Newisha Alifa di Facebook.

Saya pengin, tapi langsung panik. Apalagi pas blio ngirim pesan via WA. Haduhh, mau jawab apa ini!

Dan yang membuat panik adalah sesuatu yang sangat tidak penting. Alasan yang sangat-sangat dangkal.

Baju. Yep. Baju.

Astagah.

"Jeng!!!! Aku malu nggak punya baju akhwat!!!" Ditambah emot nangis-nangis.

Maksud saya, gamis dan khimar lebarnya.

Saya selalu salut melihat akhwat dan busananya. Indah. Saya mah apa atuh, cuma bisa mengagumi. Maklum, wanita biasa, bukan (atau belom) jadi akhwat. Padahal mah, akhwat artinya wanita, bukan? Wanita dalam bentuk jamak *CMIIW*

Tapi sungguh, meski artinya sama-sama wanita, panggilan itu terasa jauh di luar jangkauan. Pasalnya yang namanya akhwat tetap saja identik dengan perempuan dengan pemahaman agama yang tinggi.

Untungnya jawaban si Jeng Newisha sangat melegakan.

"Rok ada kan? Yang pakai celana aja banyak. Santai aja, Jeng."

Syukurlah.

"Sudah pakai rok, sih. Tapi atasan masih kaos."

Soalnya di pertemuan pertama dengan Jeng Newi dulu saat kopdar di Kota Kasablanka, saya masih pakai celana jins. Hehehe.

"Kagak papaaa... Nyantai ajaaaa..."

Ya sudah, bulatlah tekad buat dateng ke acara itu. Kami janji bertemu di luar masjid, soalnya kalau di dalem mah pasti susah nyarinya.

Sabtu pagi...

Jam setengah tujuh saya sudah keluar dari kos. Make masker, nenteng sampah--sekalian dibuang gitu. Pas sampai luar gerbang, eh hape ketinggalan. Ini kan kronis banget.

Geli sendiri pas sampai Stasiun Pondok Cinta Cina, tahu-tahu sudah ada mesin tiket otomatis (atau apalah namanya itu). Saya yang jarang naik kereta, merasa gagap melihat benda serupa mesin ATM begitu (terakhir kali naik kereta masih dilayani secara manual, sih).

Untung ada bapak-bapak yang bisa ditanyain, juga mbak-mbak di belakang saya yang ikut menjelaskan.

Untungnya juga saya pakai masker. Kalau enggak kan ya kelihatan banget ndesonya.

Embun di jendela kereta


Sampai Stasiun Juanda, rupanya Jeng Newisha juga baru saja sampai. Syukurlah tak ada yang perlu menunggu terlalu lama.

Sunyi yah? Sesunyi hatikuuuh *pletak*

Dan si Jeng Newisha sudah menunggu di depan tulisan Masjid Istiqlal. Berjilbab oranye, dengan seorang akhwat berpostur tinggi yang ternyata adalah adiknya.

"Adek sekarang gini, gede-gede," kata si Jeng Newi, kurang lebih.

"Kakak mah udah biasa prihatin sih, ya,"

Hehehe.


Oh, ya, pemandangan yang lucu, baru juga para akhwat itu sampai, langsung pada putu-putu--pose cantik, mesam-mesem ke kamera, belo-beloin mata... cekrek! Saya juga nyaris tergoda, sih. Tapi, ah, nggak ah. Belom pengin foto.

salah satu spot putu-putu para akhwat
(foto by Jeng Newisha)

Setelah masuk masjid, nitipin sepatu--sebelumnya dimasukin ke plastik keresek dulu--kemudian berbondong-bondong menuju tempat wudhu. Karena saya sama sekali belum kebayang situasi di dalam nanti seperti apa, saya paksain buat pips, takutnya di tengah acara malah kebelet pips kan repot. Dan ngantre toiletnya lama sekali... Ternyata pas sudah di dalam pun tetep bisa keluar, hehe. Konsekuensinya ya, ketinggalan materi. Dua kali ke toilet, dua kali dapet bilik nomer 8. Nggak ada hubungannya, sih... Cuma pengin ditulis aja xD


Bodohnya, saya nggak bawa mukena! Dan kostum saya jelas tidak memungkinkan untuk sholat tanpa mukena. Namanya juga kaus! Di pikiran saya, bakal dengan mudahnya minjem mukena yang disediakan masjid. Taunya... pakai antre dan nyerahin KTP *glodak!

Jadi, kajian bersama Ustadz Yusuf Mansyur dan KH. Bachtiar Nasir hari itu bertema Masuk Surga Sekeluarga. Jelas nggak jauh-jauh dari pernikahan dan kejombloan. Langsung baper dah, bawaannya pengin dinafkahin biar bisa ke surga sekeluarga*kyaaaaa*

Nah mumpung ngumpul bareng para akhwat nih, saya kepengin juga ngerasain gimana sih syahdunya seorang akhwat. Jadi sebisa mungkin menahan diri agar nggak lirik-lirik ikhwan. Malahan kalau nggak sengaja papasan, saya pura-puranya nunduk malu-malu. Sewaktu mau melotot, bawaannya pengin istighfar aja *pletak. 

Beginilah tingkah ane yang norak-norak sembrono, Bang. Kalau kamu nyarinya seorang akhwat, saya mundur. Tapi kalau kamu nyarinya seseorang yang bisa sama-sama berubah ke arah yang lebih baik, saya tetep mundur *eh salah* hayuuu maju sama-sama ke pelaminan :p wkwkw

*Monolog di atas tidak ditujukan untuk siapa-siapa. Catet.

Di tengah acara, para jomblowan dan jomblowati diminta berdiri, semacam disuruh berikrar gitu. Doa yang luar biasa mulia. Jujur saya minder dengan doa semacam itu, jadi di dalam hati saya berdoa agar dijodohkan dengan yang terbaik saja.

Selepas berdoa, hati diliputi rasa haru. Namun, keharuan saya tidak disebabkan oleh doa yang agung barusan. Bukan juga soal jodoh yang masih belom kelihatan hilalnya. Saya diliputi keharuan lantaran Jeng Newi menangis.

Allah...

Nampaknya sahabat saya ini sungguh begitu ingin segera disatukan dengan jodohnya. Bisa jadi juga karena baru saja patah hati. Atau akumulasi dari keduanya. Yang saya tahu, hati yang lembutlah yang mudah tersentuh.

Yang jelas, air mata yang menitik barusan, menggerakkan hati saya untuk menyelipkan nama Jeng Newi ke dalam doa saya--maaf kalau enggak setiap hari juga ngedoainnya, Jeng. Pokoknya mah kalau pas teman-teman saya sebut, bakal ada satu nama lagi. Jeng Newisha Alifa.

Sabtu Siang...

Oh ya, selain mendengar kajian, salah satu sesi terasyik adalah curhat-curhatan dan berburu ransel AsmaNadia. Secara saya ini kan meski tengah bebas tugas, bangga dan bahagia sekali menyandang predikat sebagai karyawan ANPH xD (meski kenyataannya, Bunda dan Pak Isa lebih sering menganggap kami ANPH team! Atau ANPH crew. Satu tim yang kompak dan solid--ketimbang menganggap kami 'sekadar' karyawan *hugs*)


Di dalam Masjid

Adegan:

"Wulan, itu ada ransel AsmaNadia," kata Jeng Newi.

"Ah, iya, fotoin, Jeng, fotoin..."

Large Hitam-Pink Fanta
Tolong diabaikan gambar kakinya
(foto by Jeng Newisha)

Di stasiun Juanda juga nemu.

Adegan: Pura-pura ngambil foto gedung ah... pas Mbaknya meleng, cekrek-cekrek!
Entah merasa dikuntit oleh orang aneh, atau karena kami sama-sama pakai ransel AsmaNadia, si Mbaknya kemudian pergi.

Nggak pa-pa, Mbak, saya sudah biasa kok kalo cuma ditinggal-tinggal pergi gitu *jomblo baper mode on*

Slim abu-pink muda

Di Jembatan penyeberangan ada lagi, Nda!

(warna pink)
Spesial edition: 4S

Mari kita kejar Mbaknya, lebih dekat lagi
Mbak, ada akuuuh di belakangmu


Tentunya setelah selesai, dan sudah habis dzuhur, sempetin dulu foto-foto.

kamera yang bagusan kagak ada, Mbak? huhuhu

Gereja Katedral Jakarta tampak dari halaman Masjid Istiqlal



Karena kelaperan, kami makan dulu di Bakso Malang Oasis di dalam stasiun Juanda. Bertiga memesan menu berat (nasi goreng barbekyu) karena sama-sama laper berat.

Yang lucu, saat kami menunggu pesanan, di sebelah duduk tiga orang ibu-ibu (atau nenek-nenek). Masih pantas dipanggil ibu, namun kelihatannya sudah pada punya cucu. Ibu-ibu bercucu ini pada kasak-kusuk sembari mengaduk-aduk mi ayam bakso di mangkuk masing-masing.

Tiba-tiba salah satunya nyeletuk--dengan agak berbisik--sama Mas pelayannya, "Mas, yang digambar baksonya ada tiga."

Hiyaaaa. Masnya hanya menanggapi dengan agak salah tingkah, "Wah, nggak tahu kalo itu, Bu..."

Karena kepo, saya intip mangkuk mereka, baksonya ternyata cuma ada dua. Ahahaha.

Hari yang lucu, menyenangkan, haru, bahagia. Ahhh, berharap kapan-kapan bisa menghadirinya lagi bersama suami Jeng Newisha dan adiknya lagi, mungkin?

Namanya juga jomblo!





Sabtu, 07 Mei 2016

Pada Hari Jumat Kuturut Ke Kota Tua

Diposting oleh Wulan Mardianas di 04.58 0 komentar
Jujur, ya, saya lebih bisa menuliskan apa yang saya rasa ketimbang apa yang saya jalani. Menuliskan kegiatan, cerita perjalanan, entah bagaimana cukup tidak mudah untuk saya pribadi.


(Kadang pakai saya, kadang pakai aku. Maafkanlah.)


Kemarin saya ke Kota Tua Jakarta. Awalnya sama sekali nggak ada rencana. Semua serba dadakan dan cepat-cepat.

Saya pergi bersama tiga teman kos dan kawan-kawan dari salah satu teman kos itu. Nah, di sini uniknya. Dua teman saya, E dan S mahasiswi asal Sumba, beragama Katholik. Sedangkan M, mahasiswi, asal Sumba juga. Agama? Kristen juga. Namun tidak sealiran dengan E dan S.

Dan kami pergi ke Kota Tua bersama teman-teman sealiran M. Kurang lebih bersembilan.

Sembilan gadis. Dua agama, tiga kepercayaan yang berbeda.

Kami saling menghormati kepercayaan masing-masing. Bagimu, agamamu dan bagiku, agamaku. Namun, yang lucu, justru saya yang diajak berdiskusi dengan salah satu teman M. Targetnya? Membuka pemahaman E dan S yang dianggapp keliru menurut mereka, melalui diskusi ringan di dalam kereta bersama saya.

Yup, saya sadar, bukan saya objek dakwah mereka. Namun, dua teman saya itu.

"Jadi, apa bedanya aliran kalian dengan kristen yang lain?"

"Kami tidak merayakan natal. Tidak merayakan ulang tahun. Karen natal budaya Romawi, tidak ada dalam Al kitab."

Salah satu contoh dialog kami.

"Hm, berarti kalau di agamaku, kalian itu suka berdakwah ke mana-mana, ya?"

"Mungkin," jawabnya tersenyum. "Eh, ngomong-ngomong, dakwah itu apa ya?"

Hihihihi.

Di dalem kereta. Penuhnya... fiuhh



Jakarta siang itu panasnya ampun-ampunan. Jangan ditanya seperti apa wajah saya. Makin merah. Ya sudah, kami jalan saja. Foto-foto. Jalan. Foto-foto lagi. Sampai museum Bank Indonesia, ternyata tutup. Libur, sih, ya.


Yang nyari souvenir dan jajanan khas Jakarta... di sini nih

Djakarte

Abaikan modelnya. Niat hati mau ngambil gambar mobilnya, eh die nyelonong aje xD

Lelah muter-muter. Panas. Dan sebagainya, dan sebagainya, kami makan siang dulu.

mamams dulu



Keluarga kecil bahagia


Rombongan kami



Nah, ini bagian menyebalkannya. Ndilalah hari itu saya sedang 'dapet' hari pertama, dan keluarnya banyaaak banget. Ditambah panas-panasan berjam-jam, juga paginya nggak sempat sarapan. Saya nyaris pingsan. Lemes banget. Dengan sigap teman-teman melakukan apa saja yang bisa dilakukan untuk meringankan beban penderitaan saya *eceh*. Dari ngambilin air minum, roti dan minyak angin di dalem tas. Jadi sandaran *dasar jomblo* sampai jadi bantal--iya saya sampai tiduran di lantai stasius lho. Dari bawain ransel, sampai dengan sengaja berebut kursi di kereta cuma untuk dikasihin ke saya. Huuuaaa terharu.

Setelah hampir sampai stasiun Depok Baru, kami berpamitan. Tentunya banyak berterima kasih karena mereka sangat pengertian. Dan berkali-kali minta maaf.

"Maaf, yaa, aku merepotkan."

Dasar!







Senin, 02 Mei 2016

Tentang Rencana Menikah di Tahun Ini?

Diposting oleh Wulan Mardianas di 23.34 0 komentar
Entah kenapa bahasanku--dengan diriku sendiri--akhir-akhir ini selalu terkait nikah, nikah dan nikah?

Hei?

Ada apa ini?

Semakin galau setelah menginjak usia 25. Dulu, status-status perkara jodoh dan menikah hanyalah sebatas guyonan, lucu-lucuan, sok-sok kesepian untuk mengundang komentar dan simpati padahal hidup sedang sangat asyik bersama teman-teman. Singkatnya, saat itu memang aku tahu belum ingin menikah. Setidaknya sampai usia 24 atau 25.

Ya, karena target awal menikah memang di usia itu. Meski sempat aku revisi gara-gara ada yang mengatakan, "Dulu saya menikah usia 24. Ternyata masih terlalu muda."

Juga pesan dari seorang ibu, cukup tua namun masih sangat sehat, "Bekerja saja dulu. Senang-senang mumpung masih muda. Bahagiakan diri sendiri."

Apa sang ibu pensiunan PNS itu terlihat putus asa dengan pernikahannya? Tidak. Terlepas dari, hanya permukaan yang bisa kulihat, ya.

Sepanjang hari itu, ia bercerita banyak hal soal keluarganya. Juga anak-anak dan sanak famili. Ia terlihat sangat  menikmati hidup. Terlihat sehat dan bahagia. Tidak segan-segan mempraktekkan gerakan senam yang kutanyakan.

Dan pesan dari orang seperti beliau meyakinkanku bahwa aku tak perlu buru-buru menikah. Bahkan menggeser target ke usia 26.

Lain lagi dengan Mbahe, seorang nenek dengan kemampuan finansial yang terbilang mapan, yang hanya tinggal berdua bersama suami karena anak-anaknya berada di luar kota. Mbahe memang sudah melewati perjalanan hidup yang panjang dan barangkali pengalaman pernikahannya cukup getir--setidaknya itu desas-desus yang sering kudengar.

Usia pernikahan Mbahe dengan Mbah Kakung (yep, ini Mbah Kakung yang sama dengan yang aku tulis di kisah sebelumnya) terbilang langgeng. Meski entah sudah sesering apa keduanya saling menyakiti di masa kuatnya. Bahkan meski sampai sekarang hanya tinggal berdua, keduanya diam-diaman. Setiap kali masuk ke rumahnya yang besar, yang aku rasakan hanya dingin. Sepi. Bukan masa tua seperti itu yang kuharapkan. Tapi, yeah, Mbahe tidak suka keributan.

"Nggak usah nikah dulu, Mbak Wulan. Mbak Wulan masih muda. Bahagiakan keluarga dulu. Nikah itu enggak enak."

Waaaaa!

Awalnya memang enggak ingin buru-buru menikah. Menyadari kelayakan diri yang belum seberapa (baca: masih suka berantakan, males-malesan, belum pinter masak, masih labil, masih belum berilmu, masih belum seberapa membantu orang tua).

Namun, mendadak target menikah kembali ke usia semula. Dua empat, coret.

Okeh.

Dua lima!

Artinya, aku mengusahakannya tahun ini.

Jadi, gimana perasaanmu, kalau seorang gadis yang kemarin menikah itu, dulu sewaktu ia lahir, kau ikut menjenguknya.

Jadi, gimana perasaanmu, kalau teman seangkatan yang baru saja mengubah status menjadi menikah itu, beberapa tahun lalu pernah menikah. Bahkan anaknya sudah sekolah. Ia sudah menikah dua kali, sementara kau... ah sudahlah!

Jadi, gimana perasaanmu, kalau bertahun-tahun lalu, saat kau masih begitu kecil, kau bahagia sekali menyambut pernikahan salah satu tetanggamu. Kau duduk di dekat pelaminan, di hadapan para tamu tanpa rasa malu.

Dan seseorang yang menikah belum lama ini, kau tahu siapa?

Ya, anak pengantin itu.

Dan, yes! Aku mulai risau. Terlebih Bapak.

"Jadi, mana calonnya?"

Tidaaaakkkk!

Rabu, 27 April 2016

Tentang Sepenggal Kisah yang Sudah Selesai Sebelum Sempat Dimulai

Diposting oleh Wulan Mardianas di 04.35 0 komentar
Kalau dibilang masih ada rasa, sebenarnya enggak! Sudah biasa saja.

Ngomongin apa sih?

Hehe.

Berawal dari keisengan ngintip-ngintip profil Facebook-nya (enggak berteman), aku menemukan seorang kerabat memposting foto dia, duduk bersanding dengan seorang gadis. Yang istimewa adalah, mereka mengenakan baju pengantin.

"Dulu targetku menikah umur 25," teringat ucapannya saat kami duduk bersama--cukup dekat, namun masih terentang jarak, "Sampai sekarang sudah mau 30."

Ia melanjutkan, "Mas-masku memang nggak ada yang nikah muda, sih. Di atas 30 semua."

Sebenarnya saat itu situasi sudah tidak enak. Maksudku, kami sudah tidak bisa lagi bercanda seperti dulu. Bahkan sejak 2 bulan terakhir, aku merasa dia sengaja menjauh. Ada rasa canggung yang membuat tidak nyaman, sekaligus sikap sok tenang yang diusahakan untuk menjelaskan bahwa semua baik-baik saja. Bahwa kami masih bisa berbincang seperti dulu, lagi. Meski kami sama-sama tahu, di antara kami sudah tidak baik-baik saja.

Mengutip quotes Ika Natassa; sebab kecanggungan tidak pernah terjadi di antara dua orang yang tidak ada apa-apanya. So maybe, there is something between us.

"Cowok mah santai, Mas. Sampai usia 35 juga masih pantes-pantes aja. Beda kalau cewek. Di kampungku, yang masih kecil-kecil aja udah pada nikah."

Lalu ia bercerita soal adiknya yang juga menikah di usia 21-an, selepas keluar dari pesantren.

Melihat latar belakang keluarganya, yang religius, aku selalu merasa bukan siapa-siapa. Minder. Merasa tidak cukup baik untuk menjadi pendampingnya (setidaknya itu yang ada dalam bayangan, waktu itu).

Dia yang rutin dhuha.

Dia yang mengajari pria tua yang biasa kami panggil Mbah Kakung membaca Al Qur'an.

Dia yang sering menyenandungkan shalawat.

Dia yang setiap malam Jumat mengaji sampai dini hari--sering sampai jam 2 pagi.

Kemudian siangnya bakal bertanya, "Mataku merah, ya? Kelihatan ngantuk banget?"

Hari minggu kemarin, ia menikah.

Bersanding dengan seorang perempuan dengan riasan Paes Ageng. Memang tidak sesuai bayanganku. Kupikir ia akan menikah dengan gadis berjilbab lebar.

Tapi aku percaya. Allah telah mengkaruniakannya perempuan yang tepat untuk menjadi pendamping hidup. Dan sungguh, hatiku baik-baik saja, aku berdoa agar ia bisa menjadi pemimpin keluarga yang baik.

Yang sangat aku syukuri adalah, dia menikah setelah hati ini benar-benar sembuh. Aku nggak bisa membayangkan apa yang akan terjadi kalau dia menikah setahun lalu, tepat ketika aku sedang patah hati berat.

Akankah hancur dan lebur?

Tapi kalaupun memang terjadi, sehancur-hancurnya perasaanku, aku yakin, luka akan berangsur mengering, kemudian sembuh.

Aku tipe wanita, yang kalau mencintai seseorang selalu sungguh-sungguh. Namun, saat aku tahu bahwa sudah tak ada lagi yang bisa diharapkan untuk sebuah hubungan serius, aku bisa tutup buku. Bangkit. Melupakan dengan berjalannya waktu.

Dan akan mencintai dengan cara yang sama saat bertemu orang tepat yang lain.

Mencintainya dengan sungguh-sungguh.

Hmm, omong-omong soal pernikahan itu, yakin baik-baik aja?

Bagaimana ya?

Kayak ada pahit-pahitnya gitu sih.

Tapi bukan karena patah hati.

Melainkan, karena aku masih sendiri.

Hiks hiks huuaaa...

"Semoga jodohnya dekat," teringat ucapannya suatu hari.

Maksudnya barangkali, enggak lama-lama nunggu jodohnya.

Lah, kurang dekat apa coba, dulu? Nyaris setiap hari bertemu. Setiap hari menyamperiku. Ah, sudahlah.

Aku yakin, kok, pada akhirnya akan menikah dengan orang yang tepat. Yang terbaik menurut-Nya. Yang terdengar bunyi "klik". Itu artinya, kuncinya sudah pas.

Yang sengaja disimpan oleh Allah untuk menjadi imamku. Dan semoga, disegerakan.

Aamiin.

Sabtu, 26 Maret 2016

Tentang Memiliki Seseorang yang Bernama Suami

Diposting oleh Wulan Mardianas di 19.58 1 komentar
Sering tidak tahu harus curhat sama siapa. Takut orang yang mendengar, merasa terbebani. Merasa bosan. Jadi, benarlah bahwa sebaik-sebaiknya curhat adalah dengan Allah SWT.

Tapi, selain menengadahkan tangan, saya juga butuh mengetukkan jari-jari. Menulis seperti ini.

Menulis status di Facebook takkan banyak membantu. Berasa buka-buka aib (masalah) sendiri saja.

Kalaupun mendapat simpati, yah, bukan simpati semacam itu yang saya mau. Dinyinyirin sana-sini, mungkin lebih banyak didapat.

Biarlah.

Saya menulis di sini saja.

Pertama, nggak ada yang baca. Kalaupun ada yang baca, orangnya nggak kenal.

Kedua, bisa dibuka-buka lagi tahun depan. Saat hidup mulai berubah. Semoga saja berubah lebih baik.

Punya suami orang baik, misalnya.

-x-

Belakangan saya selalu pengin nangis setiap kali melihat foto-foto kegembiraan keluarga kecil, keluarga muda, terlebih ada bayi-bayi di tengah pasangan itu.

Trenyuh. Terharu. Perih dikit. Hehe.

Lalu bertanya dalam hati, "Apa aku sudah seserius ini mau berkeluarga?" Disusul dengan doa agar segera dipersatukan dengan Mas Jodoh.

Padahal saya belum pintar masak. Sekadar bisa, entah rasanya. Padahal saya masih suka malas-malasan. Padahal saya masih suka sembrono. Masih emosional. Belum punya ilmu yang mumpuni untuk berumah tangga.

Tapi... sekarang rasanya memang berbeda.

Ingin ada seseorang yang bisa diusap-usap keningnya sembari diajak berbincang santai sebelum tidur. Butuh seseorang yang bisa dipeluk dan memeluk saya saat dada terasa sesak. Butuh orang yang bisa membuat tertawa saat hati menangis. Butuh ada orang yang membutuhkan keberadaan saya untuk dimanjakan.

Hihihi.

Butuh seseorang, untuk saling mengingatkan dalam hal beribadah kepada-NYA.

Bersama-sama menjadi orang yang lebih baik. Di hadapan manusia lain, juga Allah SWT.

Butuh seseorang untuk dibilangin, "Selamat kerja... jangan pulang malem-malem yah... Kami menunggu." Sambil ngusap-usap perut.


Butuh seseorang untuk dibisikin, "Jaga kesehatan, yah... Karena ada orang yang akan sedih, kalo kamu enggak baik-baik saja."

Aaaahhhh

Jumat, 18 Maret 2016

Tentang Rindu yang Menyesakkan

Diposting oleh Wulan Mardianas di 06.36 0 komentar
Ketika suara tak mampu lagi meredam rindu.

Allah, dengan segala kerendahan hati saya memohon... berilah kesembuhan untuk Bapak. Sehatkan. Pulihkan. Karuniakanlah umur yang panjang dan penuh berkah.

Allah, dengan segala kerendahan hati saya memohon... berilah kesehatan yang baik untuk Emak. Bahagiakan hatinya, tenangkan pikirnya, gemukkan tubuhnya. Iya, seperti dulu. Panjangkan umurnya.

Beri saya kesempatan untuk bisa membahagiakan mereka. Membanggakan mereka. Lebih lama menatap senyum mereka. Memeluk. Merengkuh. Mendekap tubuh mereka. Mencium tangan mereka.

Malam ini, tak ada yang lebih saya rindukan kecuali mereka.

I Love Us

Depok, H min 6 menuju 25
Di dalam kamar yang lampunya sengaja dipadamkan.
Terisak sendiri.
Sesak.

Jarak ini, teramat menyiksa.




Minggu, 10 Januari 2016

Tentang Melewati Malam yang Sepi

Diposting oleh Wulan Mardianas di 05.58 0 komentar
Tampaknya lama-lama saya menikmati menulis sendiri, tanpa ada yang membaca. Hehe.

Tidak perlu lagi curhat terselubung, di sini saya bisa curhat betulan. Seperti pensieve-nya Profesor Dumbledor, blog ini merupakan pensieve saya sendiri. Yup. Seperti caption yang saya usung dulu.

Belakangan saya sering baper. Sering sedih sendiri, memikirkan banyak hal. Merasakan kesepian yang mendalam. Mungkin pengaruh PMS. Atau karena saya benar-benar belum pernah berada pada fase paling kesepian seperti sekarang ini?

Kalau ada boneka di kamar ini, sudah saya peluk-peluk, sambil memandangi hujan dengan sedih (meminjam istilah Mbak Windry Ramadhina).

Kalau ada Pandu di kamar ini (omong-omong dia adik saya) sudah saya cium-cium, saya uwel-uwel, kemudian kami akan tertawa-tawa sampai lelah sendiri.

Kalau ada Emak di sini (Oke, sama Bapak juga deh) saya sudah banjir air mata bahagia, sekaligus trenyuh. Saya pasti akan memeluk tubuh Emak sampai pagi. Dan terbangun dengan senyum seperti seorang bocah.

Kalau ada Mbah di sini... Mbah Antri, nenek yang sangat care dan mencintai saya melebihi siapa pun... Yang selalu mengusap kepala saya. Yang paling khawatir jika saya sakit sedikit saja. Apa yang bisa Wulan lakukan, Mbah? Selain memandangi makam Embah setiap kali pulang kampung.

Allah... kuatkan iman saya.

-x-

Oh, ya. Seandainya ada kamu di sini... di kamar ini... malam ini... iya... kamu yang berjenis kelamin lelaki. Artinya, saya sudah sah menjadi seorang istri^^

Kyaaaaaaa.

Jumat, 08 Januari 2016

Tentang Kapan Menikah

Diposting oleh Wulan Mardianas di 20.36 0 komentar
Saya kira, bakal merasa aman setelah berada ratusan kilometer dari rumah. Pasalnya, semenjak beberapa bulan terakhir, orang tua semakin getol menyuruh untuk segera menikah. Well, bukan karena tidak atau belum ingin menikah. Simply, karena belum menemukan seseorang yang tepat.

Parahnya, orang paling tepat seperti apa, saya bahkan tidak tahu.

Setidaknya, saya bersyukur. Saya masih bertahan tidak mengambil keputusan nekat, seperti... cepat-cepat menikah karena dikejar-kejar orang tua (plus disiapkan calonnya). Atau menikah karena lari dari kenyataan pahit bernama patah hati.

Pilihan pertama sepertinya tidak mungkin saya lakukan. Tapi pilihan kedua (mengingat saya begitu emosional) bisa saja terjadi. Beberapa bulan lalu, hampir saja saya iya-iya kan siapa saja yang ngajak kawin, karena patah hati berat.

Tapi untung, pikiran saya masih waras. Saya lantas tidak bilang ya, malahan memilih menghindar sejauh mungkin, karena kenyataannya, semakin orang itu gigih, saya semakin jengah. Bukannya belajar untuk menerima, malahan saya semakin sulit melupakan dia yang mematahkan hati (apa kabar kamu yang bulan depan berusia tiga puluh? Semoga segera menikah).

Kesimpulannya, wanita tidak pandai menjadikan seseorang sebagai pelarian semata. Kami... mencintai dengan hati #uhuk.

Kini, setelah yakin hati ini sudah sembuh dan barangkali memang ingin menikah, saya masih bingung. Saya benar-benar ingin menikah dengan niat ibadah, atau sekadar takut kesepian?

Sekali lagi, ada orang datang ke rumah, berniat baik. Kami belum pernah bertemu, dan saya masih tetap tidak tahu harus berbuat apa. Alhasil, biarlah berlalu saja. Saya menolak pulang. Bapak sampai jengah dengan sikap saya. Dan sisi baiknya, beliau akan membiarkan saya memilih sendiri. Saya senang, tapi juga bingung. Karena memang sedang di antara nol pilihan. Totally jomblo (bukan single. Setidaknya, single itu jomblo yang punya gebetan--sederhananya begitu).

Saya berdoa agar dipilihkan satu saja yang cocok untuk partner seumur hidup, partner merawat dan mendidik anak, partner di dunia dan akhirat, yang mencintai saya, dan saya mencintainya, yang mana kami sama-sama nyaman berbagi, dari hal kecil sekelas berbagi sisir, berbagi tawa, berbagi masalah, berbagi isi dompet, berbagi isi kepala, berbagi isi hati, berbagi pelukan, berbagi ranjang, berbagi cairan tubuh.

Tidak ada yang merasa direndahkan, tidak ada yang merasa dirugikan. Tidak saling meremehkan. Tidak melempar kata-kata tajam. Tidak merasa selalu benar. Tidak cemburu berlebihan. Tidak terlibat hubungan sentimentil dan menggebu-gebu namun melelahkan. Dia boleh lebih dominan karena dia imam, tanpa harus membuat saya merasa jauh di bawah (saya butuh sesekali berada di atas hahaha).

Cukup kami hidup bersama, tidak mempedulikan ocehan dunia yang tidak penting, berdedikasi untuk mewujudkan rumah tangga yang bahagia, berdaya juang untuk hidup yang lebih baik. Aduh, sampai di sini kok ya rasanya berat sekali.

Allah. Saya tidak hanya ingin mendapat izin-Mu, tapi juga ridho-Mu. Tolong, mudahkanlah, dan jangan dipersulit. Tuntunlah hatinya agar menuju arah saya, dan tuntun hati saya agar mendekat ke arahnya.

Pertemukan dan persatukan kami.

Semoga saya baik untuk dia dan keluarganya. Dan dia baik untuk saya serta keluarga saya.

Rabb, saya wanita biasa. Tidak menuntut agar dia luar biasa. Semoga, dia pun tidak berekspektasi berlebih terhadap saya.

Jadi, kalau ada yang bertanya, "Kapan nikah?"

Cukup jawab... secepatnya. Semoga saja Malaikat lewat dan mengaminkannya dengan senyum.

Sampai di sini, saya masih sangat yakin, hidup selalu penuh kejutan.

Kamis, 07 Januari 2016

Tentang Mengabadikan Kenangan

Diposting oleh Wulan Mardianas di 04.56 0 komentar
Bermula dari sebuah pertanyaan, "Wulan, hal apa yang sangat ingin kamu lakukan sampai saat ini dan belum sempat kamu kerjakan?"

Mbak Diyan yang menanyakan itu.

Eum... jujur saja, saya ingin produktif menulis di blog.  Setiap hari posting satu tulisan paling tidak. Setelah sekian tahun hanya menjadi angan-angan saja. Terlalu banyak alasan untuk sekadar menulis.

Apalagi setelah konsultasi dengan Ade Delina Putri, teman yang satu ini rajin ngeblog dan sudah beberapa kali memenangkan event. Dia bilang, "Mending rutinkan menulis dulu. Sayang kalau pakai blog berbayar tapi nggak nulis-nulis juga."

Betul juga sih. Akhirnya saya menengok kembali blog yang sudah sawangen (kalau rumah kosong, sudah dipenuhi sarang laba-laba, itulah yang kami sebut sawangen).

Setelah dipikir-pikir, saya memang harus menulis. Karena hal pertama yang saya lakukan sekarang setelah bangun tidur adalah... mengklik menu kenangan di Facebook. Haduh.

Status nggak jelas, singkat, sekelumit saja sekarang rasanya begitu berharga. Apalagi tulisan panjang? Sesuatu yang bisa dikenang lain hari. Saat sedih. Saat sendiri. Saat kesepian. Saat terpuruk. Seenggaknya, saya masih punya harta yang selain tidak bisa dicuri, juga masih bisa dinikmati. Kenangan.

Bukankah kata orang, kenangan merupakan salah satu cara untuk membuat seseorang bahagia?

Jadi, mari abadikan kenangan melalui tulisan.

Lakukan hal kecil. Setiap hari. Berkelanjutan.

Semoga kali ini bisa bertanggung jawab dengan harapan sendiri. Kalau besok masih nggak nulis-nulis juga?

Ah, ini sih namanya minta dikemplang.

Selasa, 05 Januari 2016

Tentang Waktu yang Bergulir Cepat

Diposting oleh Wulan Mardianas di 19.43 0 komentar
Sewaktu kecil saya pernah menonton film animasi. Jujur saya lupa-lupa ingat dengan ceritanya.

Mengisahkan tentang seorang anak laki-laki usia tanggung, yang sempat mengeluhkan kehidupannya. Sebenarnya, ia memiliki hidup yang normal selayaknya anak lain seusianya. Namun anak laki-laki ini merasa hidupnya terlalu biasa, ia tidak merasa bahagia.

Anak laki-laki ini memiliki seorang sahabat wanita yang ia taksir diam-diam. Suatu ketika, si anak lelaki harus berangkat sekolah seorang diri. Di perjalanan, di bawah pohon besar, ia bertemu seorang kakek tua yang tampaknya bijak. Si kakek memberikan sebuah benda, semacam yoyo. Benda bulat dengan gulungan tali berbahan wol yang bisa ditarik. Sang kakek memberitahu bahwa anak lelaki ini akan mendapat musibah berat. Dan jika itu terjadi, dia harus menarik tali tersebut, maka ia akan—semacam—dapat melompati waktu.


Namun, benda itu hanya boleh digunakan pada kondisi yang sangat genting.

Singkatnya, si anak lelaki ini benar-benar hampir tertimpa musibah. Dan sesuai pesan si Kakek, ia menarik tali ‘yoyo’, kemudian, berlalulah musibah itu. Meski yang terjadi sesungguhnya, ia berhasil melompati waktu. Maju beberapa jam.


Tetapi... ada yang tidak diindahkan oleh si Anak.


Ketika di rumah kena marah ibu, ia akan menarik tali, dan… alakazam! Waktu berlalu…
Ketika di kelas merasa bosan, ia akan menarik tali, dan… waktu berlalu.
Ketika dia mencoba mengutarakan perasaan terhadap temannya, dan sang teman masih bergeming, si anak lelaki yang tidak tahan dengan rasa malu dan canggung, kembali menarik tali. Sekali lagi, waktu berlalu.


Setiap kali ada hal-hal yang membuat perasaannya tidak nyaman, si anak lelaki akan terus menarik, dan menarik tali hingga waktu berlari semakin cepat.


Tahu-tahu, dia sudah dewasa. Telah menikah dengan sang teman.
Dan kebiasan ‘melarikan diri’ dari masalah dengan cara melompati waktu masih terus ia lakukan. Hingga… suatu pagi ia terbangun dari tidur, tiba-tiba ia sudah sangat tua. Dengan rambut dominan putih, tubuh yang sudah tidak sekuat dulu. Dan istrinya telah meninggal. 


Lelaki ini merasa sedih sekali. Dia merasa baru hidup sangat sebentar, namun waktu berlalu begitu cepat. Dan kini ia merasa benar-benar hampa. Dia telah melewatkan banyak hal tanpa melakukan sesuatu yang berarti.

Ia ingin menemui si Kakek, namun orang itu sudah tidak ada di dunia. Ia ingin menarik benda itu sekali lagi, berharap segalanya berakhir. Tapi, ia sudah sampai di batas akhir gulungan tali, sehingga tidak bisa lagi menarik talinya. Hari-hari menyedihkan ia lalui seorang diri.
 

Menengok ke belakang, ia baru teringat pesan sang Kakek. Namun, semua sudah terlambat. Dia hanya harus menikmati masa tua seorang diri.
 

Ia baru sadar bahwa setiap hal dalam hidupnya, baik yang menyenangkan, maupun menyakitkan, semua sangat berarti. Ia baru paham, bahwa setiap detik sangat berharga, dan tidak pantas disia-siakan. Ia baru mengerti, bahwa setiap momentum, seharusnya menjadi sebuah pembelajaran.
 

Karena sesungguhnya, kehidupan merupakan rangkaian proses yang indah.

Hingga kemudian, ia menangis dirundung kesedihan yang dalam. Ia ingin apa yang sempat dimiliki, dapat kembali lagi. Si-anak-lelaki-yang-kini-menua itu memegangi benda ajaib itu dengan penuh harap. Hingga pecah menjadi serpihan-serpihan.


Pagi hari saat ia bangun. Ia masih seorang anak lelaki. Ia berangkat sekolah tanpa mengeluh. Ia menghampiri teman perempuannya dengan senyum. Ia tidak ingat apa yang terjadi. Hanya saja, ia memiliki pemahaman baru… bahwa hidup adalah tentang menjalani waktu demi waktu sebaik yang kita bisa. Bahwa hidup adalah tentang… mensyukuri setiap hal kecil yang terjadi.


-x-


Dulu, setiap kali mengalami kejadian buruk, saya sering berlaku seolah-olah memiliki benda pengendali waktu tersebut. Pura-pura menariknya, dan hal buruk akan segera berlalu. 


Dan tahu-tahu saja, semua memang sudah berlalu. Manisnya bulan Ramadhan serta Idul Fitri di masa anak-anak. Bahagianya mendapat rangking bagus. Malunya saat mengompol di kelas. Hebohnya main-main setiap pulang sekolah. Senangnya setiap kali pergi bersama Bapak-Ibu. Betapa riangnya bermain dengan teman-teman sekampung di Sabtu sore, nonton film kartun di Minggu pagi.


Dan tahu-tahu saja, hari-hari itu memang sudah terlewat. Masa ABG yang malu-malu. GR-nya mendapat ‘salam’ dari kakak kelas. Deg-degannya saat berjalan di dekat orang yang disukai.


Dan tahu-tahu saja, semua memang sudah berakhir. Persahabatan di masa SMA. Patah hati pertama. Kegagalan pertama. Rasa takut ketika mendapat hukuman dari guru.


Dan tahu-tahu saja, setiap hal menjadi tidak sama lagi.


Jalan berdua dan menggila dengan sahabat. Tertawa sampai keluar air mata. Curhat sampai nangis-nangis, seperti dulu—rasanya sudah tidak mungkin, ketika ia sudah menjadi seorang istri, dan calon ibu.


Kumpul-kumpul bersama teman dengan formasi komplit—juga tidak mungkin, mengingat dua yang lain sudah menikah, sementara kami semua sibuk dengan rutinitas masing-masing.


Tiba-tiba saja semua sudah berlalu.

 
Masih melekat dalam ingatan, ketika pertama kali mulai mampu mengingat hari-hari yang dijalani (entah usia tiga atau empat tahun, atau berapa) Wulan Kecil bicara sendiri sambil menatap langit, “Rasanya… seperti bangun tidur.”


Bahkan tanpa melompati waktu, cepat sekali tahun-tahun berganti.


Saya mulai khawatir, jangan-jangan, masa dewasa pun akan berlalu begitu cepat. 


Maka, mari manfaatkan waktu sebaik mungkin. Dan merangkai banyak kenangan.

Mari.


Selagi sempat.

Tentang Kisah yang Menyayat Hati

Diposting oleh Wulan Mardianas di 04.41 1 komentar
Bagaimana perasaanmu jika...

Di hari ulang tahun seseorang yang begitu penting, kamu menyempatkan diri datang ke kotanya, hujan deras, kamu naik motor sendirian, kamu tidak mengenakan mantel, kamu kedinginan, hatimu ngilu karena pesan-pesan yang tak terbalas, kamu dirundung sedih karena hubungan yang mulai dingin. Sedingin tubuhmu yang diguyur hujan lebat sore itu. 

Kemudian ketika sampai di depan kos, seseorang yang begitu penting itu menemuimu di luar. Bayanganmu sebelumnya, ia akan khawatir melihat kondisimu, ia akan sedih melihatmu bersedih, ia akan menyuruhmu segera berteduh, membuatkan indomie kuah atau susu cokelat panas sekadar untuk menghangatkan tubuhmu. Seperti yang dulu-dulu.

Namun ternyata, ia hanya bilang, "Di kos lagi ada temen-temen."

Dan seolah kamu tidak punya tempat di antara ia dengan teman-temannya.

Tanpa banyak omong, kamu pun pulang. Hujan masih deras. Kamu menangis sesenggukan sepanjang jalan. Saat di lampu merah, ketika ada satu-dua motor ikut berhenti, mereka akan melirikmu seolah kamu adalah Gollum versi wanita. Hatimu bertanya-tanya, "Apa aku setidak pantas itu?"
 
Bagaimana perasaanmu jika...

Seseorang telah mengklaim dirimu sebagai 'my future wife'. Kalian begitu dekat, kalian punya ritual makan biskuit keju yang selalu dibagi dua. Kamu banyak tertawa saat bersamanya, begitu pun ia. Sekalipun ia dikelilingi banyak wanita, namun akan selalu dan selalu menuju padamu. Akan selalu dan selalu menceritakan semua hal denganmu. Secara terang-terangan. Termasuk, tentang masa lalunya yang kelam. 

Kemudian tiba-tiba saja dia menjauh. Dia muak oleh keberadaanmu yang mulai sering menyebalkan, sebab menuntut kepastian. Kemudian pergi. Ia meninggalkanmu begitu saja.

Bagaimana perasaanmu jika...

Kamu masih SMA. Kamu berpacaran dengan seorang pria. Ia sangat pendiam. Sebenarnya kalian berdua sama-sama pendiam. Kalian melakukan sesuatu yang di luar batas. Kamu hamil. Kalian bingung. Kalian takut. Ia jauh lebih kalut. Kemudian pagi-pagi kamu mendapat kabar, bahwa pacarmu mati bunuh diri.

Bagaimana perasaanmu jika...

Kamu mengenal seorang bapak (sekadar mengenal namanya), wajahnya kalem, orangnya baik dan pemalu. Kalian beberapa kali bersinggungan, melempar senyum. Tidak tampak sedikit pun aura galak di wajahnya. Teduh, cenderung berwajah sedih, dan sangat bersahaja. Kamu sering melihat haru pada sosoknya karena menyaksikan si Bapak ke mana-mana naik sepeda ontel. 

Kemudian, lama sekali kalian tidak berpapasan. Hingga tiba-tiba santer terdengar kabar, bahwa si Bapak berwajah sedih tersebut telah meninggal dunia. 

Gantung diri.

Saat kamu menanyakan hal itu terhadap orang di sekitar tempat tinggalnya, jawabannya membuatmu tercengang, "Biasa, masalah perempuan. Istrinya selingkuh."

Bagaimana perasaanmu jika...

Tinggal hitungan hari lebaran tiba. Kamu mendengar cerita yang sangat mengoyak batinmu. Adik laki-lakimu yang masih SMP, dihajar sekumpulan pemuda. Babak belur, darah di mana-mana, kulit tersayat-sayat. Tidak jelas apakah ada yang mencoba menolongnya atau tidak, meski dari video yang sempat beredar, banyak orang di sekelilingnya. Ada pula aparat. Ia dihajar karena mencuri uang senilai dua puluh lima ribu, yang rencananya akan digunakan untuk bermain PlayStation.

Adikmu itu, ia masih bertahan meski dihajar habis-habisan. Terakhir, tubuhnya diikatkan pada sepeda motor. Tubuh adikmu diseret-seret seperti binatang. Darah membasahi aspal. Nyawa adikmu, melayang.

Ibu kalian... bekerja sebagai Tenaga Kerja Wanita. Jauh di negeri sana. Bertahun-tahun kalian tidak berkumpul. Lalu, sebagai kakak, jawaban apa yang akan kamu siapkan jika kelak ibumu bertanya, "Ke mana anak lelakiku?" Lalu, bagaimana kamu akan menjelaskannya? Bahwa adikmu meninggal dengan cara yang sangat mengerikan.


Cerita-cerita di atas, terus terang saja selalu membuat saya sedih setiap kali mengingatnya.

Kisah pertama; kisah teman saya. Ia menceritakannya saat kami duduk berdua sambil memandangi kendaraan berlalu-lalang. Saya tidak sepandai ia dalam bercerita, yang jelas, ketika mendengarnya langsung, saya ikut berkaca-kaca.

Kisah kedua; cerita seorang adik. Ia menceritakannya di dalam bus ekonomi, perjalanan pulang dari luar kota.

Kisah ketiga; cerita seorang yang tidak saya kenal. Ia menceritakannya sewaktu menunggu bus. Dan si anak SMA yang gantung diri itu, merupakan adik kandungnya. Saya masih ingat ia berkata dengan wajah tertekan, "Andai saja dia mau cerita, kita pasti bakal mencari jalan keluarnya bersama-sama."

Kisah keempat; kisah itu menimpa Bapak penjual jamu yang sempat berkeliling kampung saya. Saya mengingat sosoknya sebagai pria yang hanya dengan melihatnya saja kita akan merasa sedih. Saya berharap, sangat berharap, semoga Allah mengampuni dosa-dosa beliau.

Kisah terakhir... saya harus menghela napas dulu. Sebagai seorang wanita yang mempunyai adik cowok, sungguh, saya tidak tahu sehancur apa hati kakak dalam cerita itu. Betapa pilu. Kejadian ini sudah bertahun-tahun lalu. Namun masih sangat melekat di hati siapa saja yang sempat tinggal di kota kami waktu itu. Ya Allah... ampunkanlah dosa adik ini. Dan siapa saja yang tanpa sengaja 'ikut' berlaku aniaya karena 'membiarkan' hal itu terjadi.


Oh ya, dan ada satu cerita lagi. Seseorang yang sedang merasa hampa. Ia merasa bukan siapa-siapa. Tidak punya apa-apa. Terkadang tidak tahu harus berbuat apa. Sebentar lagi, orang ini akan meninggalkan ruangan kosong, dan akan menuju ruangan kosong lainnya.

Kamu tahu bagian mananya yang menyayat hati?

Bahwa gadis ini, sedang merasa sangaaat kesepian.

Ah, ini sih, cerita tentang saya.
 

Di Bawah Gerimis Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting