Cute Plant Dancing Kaoani | Di Bawah Gerimis

Sabtu, 26 Maret 2016

Tentang Memiliki Seseorang yang Bernama Suami

Diposting oleh Wulan Mardianas di 19.58 1 komentar
Sering tidak tahu harus curhat sama siapa. Takut orang yang mendengar, merasa terbebani. Merasa bosan. Jadi, benarlah bahwa sebaik-sebaiknya curhat adalah dengan Allah SWT.

Tapi, selain menengadahkan tangan, saya juga butuh mengetukkan jari-jari. Menulis seperti ini.

Menulis status di Facebook takkan banyak membantu. Berasa buka-buka aib (masalah) sendiri saja.

Kalaupun mendapat simpati, yah, bukan simpati semacam itu yang saya mau. Dinyinyirin sana-sini, mungkin lebih banyak didapat.

Biarlah.

Saya menulis di sini saja.

Pertama, nggak ada yang baca. Kalaupun ada yang baca, orangnya nggak kenal.

Kedua, bisa dibuka-buka lagi tahun depan. Saat hidup mulai berubah. Semoga saja berubah lebih baik.

Punya suami orang baik, misalnya.

-x-

Belakangan saya selalu pengin nangis setiap kali melihat foto-foto kegembiraan keluarga kecil, keluarga muda, terlebih ada bayi-bayi di tengah pasangan itu.

Trenyuh. Terharu. Perih dikit. Hehe.

Lalu bertanya dalam hati, "Apa aku sudah seserius ini mau berkeluarga?" Disusul dengan doa agar segera dipersatukan dengan Mas Jodoh.

Padahal saya belum pintar masak. Sekadar bisa, entah rasanya. Padahal saya masih suka malas-malasan. Padahal saya masih suka sembrono. Masih emosional. Belum punya ilmu yang mumpuni untuk berumah tangga.

Tapi... sekarang rasanya memang berbeda.

Ingin ada seseorang yang bisa diusap-usap keningnya sembari diajak berbincang santai sebelum tidur. Butuh seseorang yang bisa dipeluk dan memeluk saya saat dada terasa sesak. Butuh orang yang bisa membuat tertawa saat hati menangis. Butuh ada orang yang membutuhkan keberadaan saya untuk dimanjakan.

Hihihi.

Butuh seseorang, untuk saling mengingatkan dalam hal beribadah kepada-NYA.

Bersama-sama menjadi orang yang lebih baik. Di hadapan manusia lain, juga Allah SWT.

Butuh seseorang untuk dibilangin, "Selamat kerja... jangan pulang malem-malem yah... Kami menunggu." Sambil ngusap-usap perut.


Butuh seseorang untuk dibisikin, "Jaga kesehatan, yah... Karena ada orang yang akan sedih, kalo kamu enggak baik-baik saja."

Aaaahhhh

Jumat, 18 Maret 2016

Tentang Rindu yang Menyesakkan

Diposting oleh Wulan Mardianas di 06.36 0 komentar
Ketika suara tak mampu lagi meredam rindu.

Allah, dengan segala kerendahan hati saya memohon... berilah kesembuhan untuk Bapak. Sehatkan. Pulihkan. Karuniakanlah umur yang panjang dan penuh berkah.

Allah, dengan segala kerendahan hati saya memohon... berilah kesehatan yang baik untuk Emak. Bahagiakan hatinya, tenangkan pikirnya, gemukkan tubuhnya. Iya, seperti dulu. Panjangkan umurnya.

Beri saya kesempatan untuk bisa membahagiakan mereka. Membanggakan mereka. Lebih lama menatap senyum mereka. Memeluk. Merengkuh. Mendekap tubuh mereka. Mencium tangan mereka.

Malam ini, tak ada yang lebih saya rindukan kecuali mereka.

I Love Us

Depok, H min 6 menuju 25
Di dalam kamar yang lampunya sengaja dipadamkan.
Terisak sendiri.
Sesak.

Jarak ini, teramat menyiksa.




Minggu, 10 Januari 2016

Tentang Melewati Malam yang Sepi

Diposting oleh Wulan Mardianas di 05.58 0 komentar
Tampaknya lama-lama saya menikmati menulis sendiri, tanpa ada yang membaca. Hehe.

Tidak perlu lagi curhat terselubung, di sini saya bisa curhat betulan. Seperti pensieve-nya Profesor Dumbledor, blog ini merupakan pensieve saya sendiri. Yup. Seperti caption yang saya usung dulu.

Belakangan saya sering baper. Sering sedih sendiri, memikirkan banyak hal. Merasakan kesepian yang mendalam. Mungkin pengaruh PMS. Atau karena saya benar-benar belum pernah berada pada fase paling kesepian seperti sekarang ini?

Kalau ada boneka di kamar ini, sudah saya peluk-peluk, sambil memandangi hujan dengan sedih (meminjam istilah Mbak Windry Ramadhina).

Kalau ada Pandu di kamar ini (omong-omong dia adik saya) sudah saya cium-cium, saya uwel-uwel, kemudian kami akan tertawa-tawa sampai lelah sendiri.

Kalau ada Emak di sini (Oke, sama Bapak juga deh) saya sudah banjir air mata bahagia, sekaligus trenyuh. Saya pasti akan memeluk tubuh Emak sampai pagi. Dan terbangun dengan senyum seperti seorang bocah.

Kalau ada Mbah di sini... Mbah Antri, nenek yang sangat care dan mencintai saya melebihi siapa pun... Yang selalu mengusap kepala saya. Yang paling khawatir jika saya sakit sedikit saja. Apa yang bisa Wulan lakukan, Mbah? Selain memandangi makam Embah setiap kali pulang kampung.

Allah... kuatkan iman saya.

-x-

Oh, ya. Seandainya ada kamu di sini... di kamar ini... malam ini... iya... kamu yang berjenis kelamin lelaki. Artinya, saya sudah sah menjadi seorang istri^^

Kyaaaaaaa.

Jumat, 08 Januari 2016

Tentang Kapan Menikah

Diposting oleh Wulan Mardianas di 20.36 0 komentar
Saya kira, bakal merasa aman setelah berada ratusan kilometer dari rumah. Pasalnya, semenjak beberapa bulan terakhir, orang tua semakin getol menyuruh untuk segera menikah. Well, bukan karena tidak atau belum ingin menikah. Simply, karena belum menemukan seseorang yang tepat.

Parahnya, orang paling tepat seperti apa, saya bahkan tidak tahu.

Setidaknya, saya bersyukur. Saya masih bertahan tidak mengambil keputusan nekat, seperti... cepat-cepat menikah karena dikejar-kejar orang tua (plus disiapkan calonnya). Atau menikah karena lari dari kenyataan pahit bernama patah hati.

Pilihan pertama sepertinya tidak mungkin saya lakukan. Tapi pilihan kedua (mengingat saya begitu emosional) bisa saja terjadi. Beberapa bulan lalu, hampir saja saya iya-iya kan siapa saja yang ngajak kawin, karena patah hati berat.

Tapi untung, pikiran saya masih waras. Saya lantas tidak bilang ya, malahan memilih menghindar sejauh mungkin, karena kenyataannya, semakin orang itu gigih, saya semakin jengah. Bukannya belajar untuk menerima, malahan saya semakin sulit melupakan dia yang mematahkan hati (apa kabar kamu yang bulan depan berusia tiga puluh? Semoga segera menikah).

Kesimpulannya, wanita tidak pandai menjadikan seseorang sebagai pelarian semata. Kami... mencintai dengan hati #uhuk.

Kini, setelah yakin hati ini sudah sembuh dan barangkali memang ingin menikah, saya masih bingung. Saya benar-benar ingin menikah dengan niat ibadah, atau sekadar takut kesepian?

Sekali lagi, ada orang datang ke rumah, berniat baik. Kami belum pernah bertemu, dan saya masih tetap tidak tahu harus berbuat apa. Alhasil, biarlah berlalu saja. Saya menolak pulang. Bapak sampai jengah dengan sikap saya. Dan sisi baiknya, beliau akan membiarkan saya memilih sendiri. Saya senang, tapi juga bingung. Karena memang sedang di antara nol pilihan. Totally jomblo (bukan single. Setidaknya, single itu jomblo yang punya gebetan--sederhananya begitu).

Saya berdoa agar dipilihkan satu saja yang cocok untuk partner seumur hidup, partner merawat dan mendidik anak, partner di dunia dan akhirat, yang mencintai saya, dan saya mencintainya, yang mana kami sama-sama nyaman berbagi, dari hal kecil sekelas berbagi sisir, berbagi tawa, berbagi masalah, berbagi isi dompet, berbagi isi kepala, berbagi isi hati, berbagi pelukan, berbagi ranjang, berbagi cairan tubuh.

Tidak ada yang merasa direndahkan, tidak ada yang merasa dirugikan. Tidak saling meremehkan. Tidak melempar kata-kata tajam. Tidak merasa selalu benar. Tidak cemburu berlebihan. Tidak terlibat hubungan sentimentil dan menggebu-gebu namun melelahkan. Dia boleh lebih dominan karena dia imam, tanpa harus membuat saya merasa jauh di bawah (saya butuh sesekali berada di atas hahaha).

Cukup kami hidup bersama, tidak mempedulikan ocehan dunia yang tidak penting, berdedikasi untuk mewujudkan rumah tangga yang bahagia, berdaya juang untuk hidup yang lebih baik. Aduh, sampai di sini kok ya rasanya berat sekali.

Allah. Saya tidak hanya ingin mendapat izin-Mu, tapi juga ridho-Mu. Tolong, mudahkanlah, dan jangan dipersulit. Tuntunlah hatinya agar menuju arah saya, dan tuntun hati saya agar mendekat ke arahnya.

Pertemukan dan persatukan kami.

Semoga saya baik untuk dia dan keluarganya. Dan dia baik untuk saya serta keluarga saya.

Rabb, saya wanita biasa. Tidak menuntut agar dia luar biasa. Semoga, dia pun tidak berekspektasi berlebih terhadap saya.

Jadi, kalau ada yang bertanya, "Kapan nikah?"

Cukup jawab... secepatnya. Semoga saja Malaikat lewat dan mengaminkannya dengan senyum.

Sampai di sini, saya masih sangat yakin, hidup selalu penuh kejutan.

Kamis, 07 Januari 2016

Tentang Mengabadikan Kenangan

Diposting oleh Wulan Mardianas di 04.56 0 komentar
Bermula dari sebuah pertanyaan, "Wulan, hal apa yang sangat ingin kamu lakukan sampai saat ini dan belum sempat kamu kerjakan?"

Mbak Diyan yang menanyakan itu.

Eum... jujur saja, saya ingin produktif menulis di blog.  Setiap hari posting satu tulisan paling tidak. Setelah sekian tahun hanya menjadi angan-angan saja. Terlalu banyak alasan untuk sekadar menulis.

Apalagi setelah konsultasi dengan Ade Delina Putri, teman yang satu ini rajin ngeblog dan sudah beberapa kali memenangkan event. Dia bilang, "Mending rutinkan menulis dulu. Sayang kalau pakai blog berbayar tapi nggak nulis-nulis juga."

Betul juga sih. Akhirnya saya menengok kembali blog yang sudah sawangen (kalau rumah kosong, sudah dipenuhi sarang laba-laba, itulah yang kami sebut sawangen).

Setelah dipikir-pikir, saya memang harus menulis. Karena hal pertama yang saya lakukan sekarang setelah bangun tidur adalah... mengklik menu kenangan di Facebook. Haduh.

Status nggak jelas, singkat, sekelumit saja sekarang rasanya begitu berharga. Apalagi tulisan panjang? Sesuatu yang bisa dikenang lain hari. Saat sedih. Saat sendiri. Saat kesepian. Saat terpuruk. Seenggaknya, saya masih punya harta yang selain tidak bisa dicuri, juga masih bisa dinikmati. Kenangan.

Bukankah kata orang, kenangan merupakan salah satu cara untuk membuat seseorang bahagia?

Jadi, mari abadikan kenangan melalui tulisan.

Lakukan hal kecil. Setiap hari. Berkelanjutan.

Semoga kali ini bisa bertanggung jawab dengan harapan sendiri. Kalau besok masih nggak nulis-nulis juga?

Ah, ini sih namanya minta dikemplang.

Selasa, 05 Januari 2016

Tentang Waktu yang Bergulir Cepat

Diposting oleh Wulan Mardianas di 19.43 0 komentar
Sewaktu kecil saya pernah menonton film animasi. Jujur saya lupa-lupa ingat dengan ceritanya.

Mengisahkan tentang seorang anak laki-laki usia tanggung, yang sempat mengeluhkan kehidupannya. Sebenarnya, ia memiliki hidup yang normal selayaknya anak lain seusianya. Namun anak laki-laki ini merasa hidupnya terlalu biasa, ia tidak merasa bahagia.

Anak laki-laki ini memiliki seorang sahabat wanita yang ia taksir diam-diam. Suatu ketika, si anak lelaki harus berangkat sekolah seorang diri. Di perjalanan, di bawah pohon besar, ia bertemu seorang kakek tua yang tampaknya bijak. Si kakek memberikan sebuah benda, semacam yoyo. Benda bulat dengan gulungan tali berbahan wol yang bisa ditarik. Sang kakek memberitahu bahwa anak lelaki ini akan mendapat musibah berat. Dan jika itu terjadi, dia harus menarik tali tersebut, maka ia akan—semacam—dapat melompati waktu.


Namun, benda itu hanya boleh digunakan pada kondisi yang sangat genting.

Singkatnya, si anak lelaki ini benar-benar hampir tertimpa musibah. Dan sesuai pesan si Kakek, ia menarik tali ‘yoyo’, kemudian, berlalulah musibah itu. Meski yang terjadi sesungguhnya, ia berhasil melompati waktu. Maju beberapa jam.


Tetapi... ada yang tidak diindahkan oleh si Anak.


Ketika di rumah kena marah ibu, ia akan menarik tali, dan… alakazam! Waktu berlalu…
Ketika di kelas merasa bosan, ia akan menarik tali, dan… waktu berlalu.
Ketika dia mencoba mengutarakan perasaan terhadap temannya, dan sang teman masih bergeming, si anak lelaki yang tidak tahan dengan rasa malu dan canggung, kembali menarik tali. Sekali lagi, waktu berlalu.


Setiap kali ada hal-hal yang membuat perasaannya tidak nyaman, si anak lelaki akan terus menarik, dan menarik tali hingga waktu berlari semakin cepat.


Tahu-tahu, dia sudah dewasa. Telah menikah dengan sang teman.
Dan kebiasan ‘melarikan diri’ dari masalah dengan cara melompati waktu masih terus ia lakukan. Hingga… suatu pagi ia terbangun dari tidur, tiba-tiba ia sudah sangat tua. Dengan rambut dominan putih, tubuh yang sudah tidak sekuat dulu. Dan istrinya telah meninggal. 


Lelaki ini merasa sedih sekali. Dia merasa baru hidup sangat sebentar, namun waktu berlalu begitu cepat. Dan kini ia merasa benar-benar hampa. Dia telah melewatkan banyak hal tanpa melakukan sesuatu yang berarti.

Ia ingin menemui si Kakek, namun orang itu sudah tidak ada di dunia. Ia ingin menarik benda itu sekali lagi, berharap segalanya berakhir. Tapi, ia sudah sampai di batas akhir gulungan tali, sehingga tidak bisa lagi menarik talinya. Hari-hari menyedihkan ia lalui seorang diri.
 

Menengok ke belakang, ia baru teringat pesan sang Kakek. Namun, semua sudah terlambat. Dia hanya harus menikmati masa tua seorang diri.
 

Ia baru sadar bahwa setiap hal dalam hidupnya, baik yang menyenangkan, maupun menyakitkan, semua sangat berarti. Ia baru paham, bahwa setiap detik sangat berharga, dan tidak pantas disia-siakan. Ia baru mengerti, bahwa setiap momentum, seharusnya menjadi sebuah pembelajaran.
 

Karena sesungguhnya, kehidupan merupakan rangkaian proses yang indah.

Hingga kemudian, ia menangis dirundung kesedihan yang dalam. Ia ingin apa yang sempat dimiliki, dapat kembali lagi. Si-anak-lelaki-yang-kini-menua itu memegangi benda ajaib itu dengan penuh harap. Hingga pecah menjadi serpihan-serpihan.


Pagi hari saat ia bangun. Ia masih seorang anak lelaki. Ia berangkat sekolah tanpa mengeluh. Ia menghampiri teman perempuannya dengan senyum. Ia tidak ingat apa yang terjadi. Hanya saja, ia memiliki pemahaman baru… bahwa hidup adalah tentang menjalani waktu demi waktu sebaik yang kita bisa. Bahwa hidup adalah tentang… mensyukuri setiap hal kecil yang terjadi.


-x-


Dulu, setiap kali mengalami kejadian buruk, saya sering berlaku seolah-olah memiliki benda pengendali waktu tersebut. Pura-pura menariknya, dan hal buruk akan segera berlalu. 


Dan tahu-tahu saja, semua memang sudah berlalu. Manisnya bulan Ramadhan serta Idul Fitri di masa anak-anak. Bahagianya mendapat rangking bagus. Malunya saat mengompol di kelas. Hebohnya main-main setiap pulang sekolah. Senangnya setiap kali pergi bersama Bapak-Ibu. Betapa riangnya bermain dengan teman-teman sekampung di Sabtu sore, nonton film kartun di Minggu pagi.


Dan tahu-tahu saja, hari-hari itu memang sudah terlewat. Masa ABG yang malu-malu. GR-nya mendapat ‘salam’ dari kakak kelas. Deg-degannya saat berjalan di dekat orang yang disukai.


Dan tahu-tahu saja, semua memang sudah berakhir. Persahabatan di masa SMA. Patah hati pertama. Kegagalan pertama. Rasa takut ketika mendapat hukuman dari guru.


Dan tahu-tahu saja, setiap hal menjadi tidak sama lagi.


Jalan berdua dan menggila dengan sahabat. Tertawa sampai keluar air mata. Curhat sampai nangis-nangis, seperti dulu—rasanya sudah tidak mungkin, ketika ia sudah menjadi seorang istri, dan calon ibu.


Kumpul-kumpul bersama teman dengan formasi komplit—juga tidak mungkin, mengingat dua yang lain sudah menikah, sementara kami semua sibuk dengan rutinitas masing-masing.


Tiba-tiba saja semua sudah berlalu.

 
Masih melekat dalam ingatan, ketika pertama kali mulai mampu mengingat hari-hari yang dijalani (entah usia tiga atau empat tahun, atau berapa) Wulan Kecil bicara sendiri sambil menatap langit, “Rasanya… seperti bangun tidur.”


Bahkan tanpa melompati waktu, cepat sekali tahun-tahun berganti.


Saya mulai khawatir, jangan-jangan, masa dewasa pun akan berlalu begitu cepat. 


Maka, mari manfaatkan waktu sebaik mungkin. Dan merangkai banyak kenangan.

Mari.


Selagi sempat.

Tentang Kisah yang Menyayat Hati

Diposting oleh Wulan Mardianas di 04.41 1 komentar
Bagaimana perasaanmu jika...

Di hari ulang tahun seseorang yang begitu penting, kamu menyempatkan diri datang ke kotanya, hujan deras, kamu naik motor sendirian, kamu tidak mengenakan mantel, kamu kedinginan, hatimu ngilu karena pesan-pesan yang tak terbalas, kamu dirundung sedih karena hubungan yang mulai dingin. Sedingin tubuhmu yang diguyur hujan lebat sore itu. 

Kemudian ketika sampai di depan kos, seseorang yang begitu penting itu menemuimu di luar. Bayanganmu sebelumnya, ia akan khawatir melihat kondisimu, ia akan sedih melihatmu bersedih, ia akan menyuruhmu segera berteduh, membuatkan indomie kuah atau susu cokelat panas sekadar untuk menghangatkan tubuhmu. Seperti yang dulu-dulu.

Namun ternyata, ia hanya bilang, "Di kos lagi ada temen-temen."

Dan seolah kamu tidak punya tempat di antara ia dengan teman-temannya.

Tanpa banyak omong, kamu pun pulang. Hujan masih deras. Kamu menangis sesenggukan sepanjang jalan. Saat di lampu merah, ketika ada satu-dua motor ikut berhenti, mereka akan melirikmu seolah kamu adalah Gollum versi wanita. Hatimu bertanya-tanya, "Apa aku setidak pantas itu?"
 
Bagaimana perasaanmu jika...

Seseorang telah mengklaim dirimu sebagai 'my future wife'. Kalian begitu dekat, kalian punya ritual makan biskuit keju yang selalu dibagi dua. Kamu banyak tertawa saat bersamanya, begitu pun ia. Sekalipun ia dikelilingi banyak wanita, namun akan selalu dan selalu menuju padamu. Akan selalu dan selalu menceritakan semua hal denganmu. Secara terang-terangan. Termasuk, tentang masa lalunya yang kelam. 

Kemudian tiba-tiba saja dia menjauh. Dia muak oleh keberadaanmu yang mulai sering menyebalkan, sebab menuntut kepastian. Kemudian pergi. Ia meninggalkanmu begitu saja.

Bagaimana perasaanmu jika...

Kamu masih SMA. Kamu berpacaran dengan seorang pria. Ia sangat pendiam. Sebenarnya kalian berdua sama-sama pendiam. Kalian melakukan sesuatu yang di luar batas. Kamu hamil. Kalian bingung. Kalian takut. Ia jauh lebih kalut. Kemudian pagi-pagi kamu mendapat kabar, bahwa pacarmu mati bunuh diri.

Bagaimana perasaanmu jika...

Kamu mengenal seorang bapak (sekadar mengenal namanya), wajahnya kalem, orangnya baik dan pemalu. Kalian beberapa kali bersinggungan, melempar senyum. Tidak tampak sedikit pun aura galak di wajahnya. Teduh, cenderung berwajah sedih, dan sangat bersahaja. Kamu sering melihat haru pada sosoknya karena menyaksikan si Bapak ke mana-mana naik sepeda ontel. 

Kemudian, lama sekali kalian tidak berpapasan. Hingga tiba-tiba santer terdengar kabar, bahwa si Bapak berwajah sedih tersebut telah meninggal dunia. 

Gantung diri.

Saat kamu menanyakan hal itu terhadap orang di sekitar tempat tinggalnya, jawabannya membuatmu tercengang, "Biasa, masalah perempuan. Istrinya selingkuh."

Bagaimana perasaanmu jika...

Tinggal hitungan hari lebaran tiba. Kamu mendengar cerita yang sangat mengoyak batinmu. Adik laki-lakimu yang masih SMP, dihajar sekumpulan pemuda. Babak belur, darah di mana-mana, kulit tersayat-sayat. Tidak jelas apakah ada yang mencoba menolongnya atau tidak, meski dari video yang sempat beredar, banyak orang di sekelilingnya. Ada pula aparat. Ia dihajar karena mencuri uang senilai dua puluh lima ribu, yang rencananya akan digunakan untuk bermain PlayStation.

Adikmu itu, ia masih bertahan meski dihajar habis-habisan. Terakhir, tubuhnya diikatkan pada sepeda motor. Tubuh adikmu diseret-seret seperti binatang. Darah membasahi aspal. Nyawa adikmu, melayang.

Ibu kalian... bekerja sebagai Tenaga Kerja Wanita. Jauh di negeri sana. Bertahun-tahun kalian tidak berkumpul. Lalu, sebagai kakak, jawaban apa yang akan kamu siapkan jika kelak ibumu bertanya, "Ke mana anak lelakiku?" Lalu, bagaimana kamu akan menjelaskannya? Bahwa adikmu meninggal dengan cara yang sangat mengerikan.


Cerita-cerita di atas, terus terang saja selalu membuat saya sedih setiap kali mengingatnya.

Kisah pertama; kisah teman saya. Ia menceritakannya saat kami duduk berdua sambil memandangi kendaraan berlalu-lalang. Saya tidak sepandai ia dalam bercerita, yang jelas, ketika mendengarnya langsung, saya ikut berkaca-kaca.

Kisah kedua; cerita seorang adik. Ia menceritakannya di dalam bus ekonomi, perjalanan pulang dari luar kota.

Kisah ketiga; cerita seorang yang tidak saya kenal. Ia menceritakannya sewaktu menunggu bus. Dan si anak SMA yang gantung diri itu, merupakan adik kandungnya. Saya masih ingat ia berkata dengan wajah tertekan, "Andai saja dia mau cerita, kita pasti bakal mencari jalan keluarnya bersama-sama."

Kisah keempat; kisah itu menimpa Bapak penjual jamu yang sempat berkeliling kampung saya. Saya mengingat sosoknya sebagai pria yang hanya dengan melihatnya saja kita akan merasa sedih. Saya berharap, sangat berharap, semoga Allah mengampuni dosa-dosa beliau.

Kisah terakhir... saya harus menghela napas dulu. Sebagai seorang wanita yang mempunyai adik cowok, sungguh, saya tidak tahu sehancur apa hati kakak dalam cerita itu. Betapa pilu. Kejadian ini sudah bertahun-tahun lalu. Namun masih sangat melekat di hati siapa saja yang sempat tinggal di kota kami waktu itu. Ya Allah... ampunkanlah dosa adik ini. Dan siapa saja yang tanpa sengaja 'ikut' berlaku aniaya karena 'membiarkan' hal itu terjadi.


Oh ya, dan ada satu cerita lagi. Seseorang yang sedang merasa hampa. Ia merasa bukan siapa-siapa. Tidak punya apa-apa. Terkadang tidak tahu harus berbuat apa. Sebentar lagi, orang ini akan meninggalkan ruangan kosong, dan akan menuju ruangan kosong lainnya.

Kamu tahu bagian mananya yang menyayat hati?

Bahwa gadis ini, sedang merasa sangaaat kesepian.

Ah, ini sih, cerita tentang saya.

Rabu, 09 Oktober 2013

Praktik Menulis Cepat, tantangan dari Isa Alamsyah sensei

Diposting oleh Wulan Mardianas di 18.31 0 komentar

Ada sesosok hantu pria di jalanan desa. Tiap senja tiba, ia selalu melayang-layang di sebelah pohon mahoni yang musim ini daunnya tengah berwarna merah kecokelatan. Sesekali ia duduk di dahan yang rapuh dan menjuntaikan kaki dengan lemah. Ia terus memandangi jalan berkerikil di bawah, menunggu seseorang melewatinya ketika hari telah gelap dan jalanan berubah temaram.

Ia tidak tahu berapa lama menunggu. Tidak ada detik, tidak ada menit. Satu-satunya yang ia tahu hanyalah terang dan gelap. Dan sebentar lagi, perempuan itu muncul. Benar saja, ketika langit mulai bergemuruh dan lelehan hujan menyentuh daun-daun mahoni, perempuan berparas ayu itu berjalan dengan memanggul payung di satu sisi pundaknya. Di tengah udara dingin yang kian menusuk, ia tidak berupaya melarikan diri. Berjalan pelan, menikmati setiap langkah.

“Hujan pertama,” bisik perempuan itu lemah.

“Larilah, nanti kau sakit,” balasnya.

Melihatnya seperti itu, hantu pria menjadi sedih. Dalam sekali lompatan, ia telah berada di sebelah si perempuan dan berusaha mengimbangi langkahnya yang gontai. Tapi, sekuat apapun sang hantu berteriak, perempuan itu tetap bergeming. Tetap diam dalam rasa sakit yang sama dengan yang ia rasakan.

Tiba-tiba perempuan itu menoleh, dan mereka saling menatap, meski sesungguhnya yang perempuan itu lihat hanya hamparan kosong tanpa warna. Sang perempuan mendengus sedih, ia lalu mempercepat langkah meninggalkan hantu pria. Ia menunduk lesu, dan melayang kembali. Kali ini tidak mendarat di pohon mahoni, tapi terus terbang hingga menembus langit. Sudah 40 hari, dan ia harus cepat pergi.

“Aku menunggu dengan sabar di atas sini, istriku.”

-x-

Ceritanya ngaco? Atau kacau? Well, saya sedang mempraktikkan tips menulis cepat ala Pak Isa Alamsyah. Meski tidak secepat itu, tapi cerita di atas tetap memecahkan rekor menulis tercepat saya. Dan pengalaman pertama menulis cepat itu… susah. Permasalahannya ternyata bukan karena beberapa tuts keyboard saya rusak, tapi semakin ditekan, ternyata otak saya semakin lemot. Padahal saya pikir, selama ini baru bisa melakukan sesuatu ketika mepet deadline saja lho, tapi ternyata ketika otak dipaksa begini, hasilnya amburadul juga. Dan satu hal yang saya benci, ketika saya menulis asal-asalan, yah, seperti ini contohnya, mood saya jadi kacau. Apa ini excuse semata? Atau memang seperti ini saya yang sesungguhnya? Padahal kalau terlalu bebas, jatuhnya malah jadi malas. Terlalu bebas juga membuat saya tidak nyaman. 

Tetap dikontrol, tetap dikasih rambu-rambu yang jelas, tapi tidak terlalu ditekan. Sepertinya itulah metode paling tepat buat saya.

Oke, jadi begini perintah Pak Isa, “ambil salah satu buku lalu ceritakan tentang buku itu.” Saya mengubahnya sedikit dengan, “Dengarkan sebuah lagu, dan tulis cerita berdasarkan interpretasiku sendiri.” Dan… terpilihlah sebuah lagu dari Payung Teduh yang berjudul Resah. Lagunya adem, teduh banget, dan liriknya ‘dalem’. So touching dan so inspiring pokoknya.

Resah
Song: Is 
Lyric: Ketjak

Aku ingin berjalan bersamamu
Dalam hujan dan malam gelap
Tapi aku tak bisa melihat matamu

Aku ingin berdua denganmu
Diantara daun gugur
Aku ingin berdua denganmu
Tapi aku hanya melihat keresahanmu

Aku menunggu dengan sabar
Diatas sini melayang-layang
Tergoyang angin , menantikan tubuh itu             

Credit to: http://payungteduh.blogspot.com/p/lyrics.html


Selasa, 08 Oktober 2013

Jalani Saja

Diposting oleh Wulan Mardianas di 17.58 1 komentar

Apa sih yang dilakukan setelah lulus? Kerja? Buka usaha? Serius nyemplung ke dunia menulis? Menikah? Entahlah. Rasa-rasanya hal paling normal buat dilakukan sekarang adalah bekerja. Ngantor seminggu enam kali, dengan delapan jam kerja atau sampai si bos pulang, gajian tiap tanggal muda, dan tidur sepanjang hari setiap libur. Ish! Jujur saja, bayangan itu bikin saya mau tidak mau jadi merasa sedih (?). Bahkan merinding. Tentu saja, bukan pekerjaan seperti itu yang saya harapkan. Tentu saja, bukan hal itu yang hidup di kepala saya (sampai saya kembali sadar, bahwa bayangan selalu saja lebih indah, yes!). Tapi ketika ijazah sudah di tangan dan kuncir toga telah berpindah ke kanan, itulah hal paling wajar yang harus dilakukan. Minimal bagi saya.

Oke, mari sejenak bongkar-bongkar kepala saya. Dulu… dulu sekali ketika saya masih berada di semester tengah, bayangan saya ketika usia sudah 22, saya bisa memilih sendiri pekerjaan yang saya inginkan, punya jam kerja fleksibel dan bisa liburan ke mana saja meski dengan budget minim. Hidup dengan menulis, misalnya. Tapi ternyata, keadaan tidak semudah itu. Saya tidak akan pernah bisa mendapatkan uang dari menulis jika saya masih sepangkeh ini. Kata salah seorang teman, ‘Iwul terlalu idealis’ dan idealisme kolot seperti yang saya punya tidak berguna di mana pun kecuali saya hidup di planet Pluto. Pada satu titik saya akhirnya sadar, bahwa jika kau tidak punya uang atau tidak terlalu pintar, maka kau tidak berhak jadi pribadi yang sok idealis. Fine… oleh karena itu, saya harus bekerja, saya harus punya uang agar bisa berkarya tanpa mengharap balasan finansial.

Tapi hey, itu dulu. Sekarang, di usia 22 yang sebenarnya, saya harus siap-siap menjadi tulang punggung keluarga. Paling tidak, bisa membantu orang tua sedikit-sedikit. Jadi mau tidak mau, suka tidak suka, saya harus bekerja. Gaji tidak terlalu besar asalkan tetap, tidak apa. Itulah satu-satunya pilihan, meski mungkin bukan pilihan final. Dan saya sungguh-sungguh berharap, semoga saya cepat kerasan di tempat kerja. Semoga saya betah menjalani rutinitas itu. Semoga saya bertemu orang-orang baik yang kelak bisa menjadi sahabat saya. Dan semoga saya enjoy dengan perubahan aktivitas saya nanti. Insya Allah. Dengan niat baik, niat mencari nafkah, saya yakin, meski tidak mudah, saya bisa menjalaninya. Sampai suatu saat nanti, saya pantas memilih jalan saya sendiri.

Selasa, 09 Juli 2013

Label

Diposting oleh Wulan Mardianas di 07.32 0 komentar
Ingat celetukan salah seorang tetangga bertahun-tahun lalu (Benar-benar sudah bertahun-tahun karena waktu itu saya masih kelas 3 SMP sedangkan tetangga saya itu kelas 3 SMK, sekarang mah sudah punya anak TK). Gak ingat pasti waktu itu kita lagi ngomongin apa, ujug-ujug sampailah kita pada bahasan band yang lagi booming ketika itu, Peterpan. Oke-oke, sekarang mereka sudah ganti nama menjadi Noah. Gak tahu gimana awalnya, yang saya ingat, saya bilang begini, “Aku gak suka sama Peterpan.”

Eh si tetangga itu nyemprot saya dengan gaya sok-sokan, “Jaman sekarang kok gak suka Peterpan. Hari gini yang gak suka Peterpan itu gak gaul.”

Bodohnya saya, saat itu cuma bisa terbengong-bengong dengan mulut megap-megap. Saya langsung protes dalam hati, saya kan memang gak suka Peterpan, tapi saya suka Green Day, My Chemical Romance, Good Charlotte sama Muse -___- (Andai memang itu arti 'gaul' yang dia maksudkan)
Ahh, saya orang yang buruk, tidak bisa mempertahankan apa yang saya yakini dengan argumen-argumen keren.
Tapi Mbak Tetangga yang terhormat, meski saya gak suka Peterpan, bukan berarti saya gak tahu-menahu soal Peterpan. Saya bahkan yakin, tetangga saya itu masih newbie jadi fans-nya Peterpan, padahal saya tahu tentang Peterpan sejak kurang lebih satu tahun sebelum tuduhan gak gaul itu terjadi.

Saya jadi berpikir, kira-kira apa motif di balik tudingan itu? Oke, saya akan mencoba membangun beberapa hipotesis. Berdasarkan kegalauan karena dikatakan gak gaul di atas, maka hipotesis dari penelitian ini adalah:

H1: Diduga bahwa variabel ‘penulis gak suka Peterpan’ dan variabel ‘penulis anak rumahan’ secara bersama-sama akan mempengaruhi status ‘anak gaul’ secara signifikan.
H2: Diduga bahwa penulis telah menyakiti sejarah permusikan Indonesia karena tidak menyukai produk dalam negeri.
H3: Diduga bahwa si tetangga memang memiliki sindrom ceplas-ceplos sehingga tidak sadar bahwa tuduhannya cukup nyelekit bagi siswa kelas 3 SMP yang mana ingin dianggap sedang gaul-gaulnya.
H4: Diduga bahwa variabel ‘penulis terlalu lebay karena mengungkit-ungkit permasalahan di masa lampau’ adalah variabel yang paling dominan yang mempengaruhi penelitian ini.
H5: Diduga bahwa penulis mengusung nama NOAH karena ingin meningkatkan trafik blog yang terbengkalai.

Oke, saya cukup paham dengan definisi gaul versi anak sekolah dengan versi KBBI. Ada perbedaan arti di sana. Dan kalau dipikir-pikir, dari kedua versi itu, saya tetap merasa bukan orang gahol, mamen...
Masalahnya, saya jadi berpikir, ternyata kita begitu mudahnya melabelkan seseorang hanya dengan sekali lirik saja. Seperti halnya tetangga yang mengatakan saya tidak gaul karena tidak satu selera dengan dia, saya pun lumayan sering berperilaku seperti itu terhadap orang lain. Dan ada beberapa orang yang pernah menjadi korban saya. Di antaranya adalah:

1. Eka Cahya Olista Constantia
Kenapa namanya lengkap banget? Karena ada beberapa Eka yang pernah mampir di kehidupan pertemanan saya. Jadi, kesan pertama waktu ketemu Eka tuh, “Gila… ini cewek jutek amat. Sombong ini pasti.” Begitu pula setelah beberapa kali pertemuan, saya dan Eka masih sama-sama diem. Palingan kalo ada beberapa hal yang bisa ‘dibasa-basikan’ kita baru bisa ngobrol. Well, kita ini sama-sama bukan tipe ice-breaker yang bisa wesheweshewes ngomongin banyak hal dengan orang-orang baru. Dan ternyata, setelah kenal lama dengan Eka, dia berbeda sekali dengan kesan pertama saya. Eka yang saya anggap jutek dan sombong itu ternyata gampang sekali tersentuh. Kita bisa jalan kaki menyusuri pecinan sambil nangis berdua saat melihat kakek-kakek yang sudah begitu tua tertatih-tatih membawa beban berat di punggungnya. Kita bisa merenung sedih ketika melihat kakek penjual kacang godog di alun-alun yang tangannya gemetaran ketika menjajakan dagangannya karena sudah tidak layak lagi bekerja.
Saya tahu akan banyak orang tersentuh menyaksikan hal-hal itu. Tapi percayalah, hanya dengan Eka saya pernah menangisi orang lain yang benar-benar orang lain.
2. Dila
Saya ingat sekali waktu awal-awal kuliah, Dila ini sering dianggap bergaya karena dia ngomong gue-elo di areal kampus. Saya sadar sih, di kota kecil setara Magelang, penggunaan gue-elo memang terdengar tidak lazim. Tapi untuk hal itu, terus terang saya gak ikutan berkomentar, karena… yah, setidaknya Dila tidak merugikan atau menyakiti hati orang lain (Berbeda dengan Eka, sikap juteknya sempat bikin saya sakit hati). Hingga pada suatu sore, saya dan teman masih terjebak di perpus fakultas karena ada tugas yang belum bisa kami selesaikan. Waktu itu Dila mendatangi kami, lalu nanya kenapa belum selesai, ada kesulitan gak, bagian mana yang gak kami mengerti. Dan dengan telatennya dia ngasih tahu kami, dia juga mendebat beberapa pendapat saya dengan alasan yang kuat dan benar. Sampai akhirnya saya dan teman sama-sama paham.
Saat di jalan pulang, teman saya langsung bilang, “Ternyata Dila baik, ya.” Tentu saja. Baik banget malah. Dila gak cuma basa-basi menawarkan bantuan, tapi dia membantu kita SUNGGUH-SUNGGUH, SAMPAI TUNTAS!
Dari situ, saya belajar… bahwa saya memang tidak perlu mengeluarkan statemen buruk tentang orang lain hanya karena satu hal kecil yang mengganggu pandangan saya. Saya tidak bisa mengatakan bahwa seseorang tidak keren karena dia penggemar boyband/girlband dan bukannya suka Avenged Sevenfold (mereka salah satu yang sering saya hujat -___- maafkan saya ya… gak lagi-lagi deh, suwer!) Saya tidak bisa kowar-kowar bahwa seseorang terkesan norak karena dia suka musik dangdut, atau dia kelihatan sombong karena jarang tersenyum, toh bisa jadi dia gak senyum karena memang dasarnya pemalu. Intinya, meski saya masih sering melakukan kesalahan seperti di atas, tapi saya akan berusaha jauh lebih keras untuk meminimalisirnya. Semoga ke depannya, saya bisa lebih lihai menghadapi hal-hal tersebut. Semoga saya tidak menambah daftar panjang korban-korban tidak bersalah yang pada akhirnya justru saya sesali sendiri. Semoga saya bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

 

Di Bawah Gerimis Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting